oleh

Sing Kalah Aja Ngamuk, Sing Menang Aja Umuk

Oponi Masyarakat 
Oleh : Nani Andriyani (pemerhati pemilu)

Pemalang – Besok tanggal 27 Juni 2018 kita semua warga indonesia akan melaksanakan pesta demokrasi baik pemilihan Gubernur dan wakil Gubernur atau Bupati/Wakil Bupati atau Walikota/Wakil walikota, tentu semua warga masyarakat harus ikut bertanggungjawab agar Pilkada besok berjalan dengan aman, lancar dan sukses. Hal ini bukan hanya menjadi tanggungjawab penyelenggara saja (KPU/Bawaslu/DKPP dan jajarannya) tetapi menjadi kepentingan kita bersama untuk bisa menciptakan iklim yang konsusif. Karena sejatinya pemilu/pilkada ini ada sesuatu yang niscaya pada alam demokrasi, bukan sesuatu yang baru, menakutkan dan bukan akhir dari segala-galanya, maka penting bagi kita semua untuk mempun yai kebesaran hati dan kejernihan pikiran dalam melaksanakan, menerima dan menjalankan hasil dari ajang kontestasi politik ini, maka jargon “ sing kalah aja ngamuk, sing menang aja umuk” (yang kalah jangan mengamuk, yang menang tidak boleh sombong) penting untuk kita pegang dan resapi sebagi bentuk kedewasaan kita dalam berpolitik. Sebagai sedikit bahan refensi kamisampaikan ulasan berikut ini.

1. Pemilukada dan Penguatan Masyarakat Sipil
Pemilihan Gubernur/Bupati/Walikota dengan sistem perwakilan selama ini kental dengan sandiwara politik para elitanya, karena pura-pura. Kedaulatan rakyat tidak mengejawantah disitu. Undang-Undang kemudian mengubahnya menjadi pemilihan langsung oleh rakyat pemilik sah kedaulatan itu. Yang terpilih bukan saja wajib loyal kepada kepentingan rakyat banyak, melainkan dipaksa oleh mekanisme politik kita untuk melindungi kedaulatan rakyat seluruhnya, baik yang memilihnya atau yang memilih calon lain sehingga minimal ada keseimbangan antara kekuatan seorang pimpinan daerah dan kekuatan rakyat didaerahnya sebagai civil society. Idealnya masyarakat madaninya lebih kuat dari pada kekuatan negaranya agar terjadi efesiensi dan efektivitas kontrol. Itulah idealisasi pemilihan langsung kepada daerah sebagai kontrak sosial yang mulai diperkenalkan oleh Thomas Hobbes, J.Locke dan JJ. Rousseau di abad 16-17 dan 18 M.

Baca Juga  Algafry, Lantik 7 Pejabat Eselon II dan III, Ini Pesannya

2. Pemikiran Politik Islam (Fiqih Siasy)
Kaum santri ketika di pondok pesantren mengenal kitab kuning, Ahkam Sulthoniyah oleh Al Mawardi Assyafi’i, abad 10 M jauh sebelum Mazhab Hobbes lahir. Eropa masih jahiliyah dalam kontek memilih pemimpin, terdapat 3 kosa kata yaitu ‘aqad, musyawarah dan ikhtiyar.
a. ‘Aqad ( akad)
Mengapa ada negara dan ada pimpinan negara?
Jawabnya karena ada kontrak sosial, jadi islam tidak mengenal negara agama.
b. Musyawarah
Lexical ialah memilih dan memilah madu dari unsur non madunya. Arti lexical ini pula yang kemudian dipakai oleh Al Qur’an dalam banyak ayatnya. Misalnya dalam surat Assyura : 30-38 dan surat Ali Imron : 159. Supaya pengertian demikian dapat berjalan imcom cuetto maka subyeknya harus ahlul halli wal’aqdi yakni ahli mengurai dan menyimpulkan. Muhamad Al Anshori penafsir Al Qur’an dari spanyol di abad pertengahan menyebutnya dengan Ahlul ilmi Waddiu, Ulama dan cerdik pandai. Maka pendidikan politik rakyat harus menjadi sebuah “niscaya” sehingga kualitas pemilu semakin mendekati idealitas Al Qur’an. Dalam demokrasi, parpol sebagai organisasi artikulatif wajib melakukan ini.
c. Ikhtiar
Arti lexicalnya memilih yang terbaik dari yang baik-baik yang ada hingga ditemukan Al Khoir, yang dalam banyak kosa kata Al Qur’an diartikan kesejahteraan dan kemakmuran. Ini harus dicapai sebagai target musyawarah, karena ini merupakan materialnya demokrasi. Agar target musyawarah tercapai, para pemikir politik islam meletakkan asas-asasnya :
‘Adalah, keadilan substantif
Syura, dalam pengertian lexical dan Al Qur’an
Mukafa’atut dlu’afa : pemberdayaan rakyat kebanyakan.
Pilar-pilar kebangsaan Indonesia yang kita anut yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika, menjamin berlangsungnya asas-asas fiqih politik Islam, bukan liberalisme dan sekularisme yang individualistik dan non agama.

Baca Juga  Wakil Bupati Pemalang Pastikan SMAN 1 Pemalang Siap Pembelajaran Tatap Muka

3. Pasca Pemilukada
a. Nabi Muhammad SAW wafat. Beberapa hari belum dikebumikan demi terwujudnya kepemimpinan politik yang dipilih atau kholifah. Para sahabat bermusyawarah. Abu Bakar paling senior dalam segala hal menjabat tangan umar RA dan mengangkatnya seraya memintanya menjadi Kholifah, tetapi kemudian umar segera mengapit Abu Bakar dan mengangkat kedua tangannya meminta dukungan segenap yang hadir untuk memilih Abu Bakar sebagai Kholifah. Merekapun sepakat bulat. Terwujudlah ‘Aqdul Imamah atau kontrak sosial.
b. Yakni wajib hukumnya syar’iy dan secara kontrak sosial patuh kepada pilihan yang sah dan legitimet.
c. Tidak seluruh hak kedaulatan rakyat diserahkan kepada pilihannya melalui pemilukada, karena dalam fiqih siasy, si pemimpin hanya sebagai wakil rakyatnya dan dirakyat masih rerap memiliki hak alamiyahnya (HAM). Demikian itu kita kenal juga dalam ilmu negara tentang teori kedaulatan rakyat sehingga pemihakan kerakyatan tetap terjaga dengan segala existensinya.

4. Tujuan Pemilukada
a. Pemilukada akan menemukan tujuannya : kemakmuran dan kesejahteraan rakyat banyak bila kita tetap memegangi empat pilar kebangsaan Indonesia :
 Pancasila
 UUD 1945
 NKRI
 Bhineka Tunggal Ika
b. Para Ulama penasehat raja di abad 15-16 telah terbukti mampu memberi bahan materialnya pancasila dalam bidang sosio – duniawi. Inilah piwulang mereka.(RedG).

Komentar

Tinggalkan Komentar