oleh

MINIM PERHATIAN PEMERINTAH, SISWANTO TETAP PRODUKSI WAYANG KULIT

Oleh : Charisa Aulia Nur Jazuli

Meskipun belum pernah mendapatkan bantuan Pemerintah dalam bentuk apapun, Siswanto
tetap berkarya membuat wayang kulit. Hal itu dilakukan karena membuat wayang sebagai mata
pencaharian sehari-hari seperti ayahnya dahulu.

Siswanto mengatakan, bahwa ayahnya yang mengajarkannya untuk menjadi seniman pembuat
wayang. Meskipun telah menggeluti pembuatan wayang dari dulu hingga sekarang, tetapi
belum pernah ada bantuan dari Pemerintah dalam bentuk apapun. “Beberapa kali saya telah
mengirimkan proposal kepada Pemerintah, namun tidak diterima dan tidak ada gerakan dari
Pemerintah. Saya pernah dikunjungi oleh para petinggi negara, dengan kondisi rumah yang
kurang baik, tapi tidak ada satupun yang memberikan bantuan”, ujar Siswanto.

• Dari SD sudah bisa membuat wayang
Siswanto menceritakan, di usia 9 tahun dia sudah bisa membantu pekerjaan ayahnya
membuat wayang. “Saat kelas 3, banyak anak seumuran saya bermain bersama temantemannya, berbeda dengan saya, saat saya pulang sekolah langsung membantu ayah yang
sedang membuat wayang” ucapnya.

Berawal dari pekerjaan sang ayah, yang menjadi pengrajin wayang kulit menjadikan
Siswanto harus mau membantu pekerjaan orantuanya membuat wayang di usia anak-anak
yaitu 9 tahun. Menurutnya, membantu ayahnya membuat wayang tidaklah rugi, karena
selain bisa menggali potensi tentang pembuatan wayang juga bisa menambah uang saku dari
hasil membantu ayahnya.

Siswanto mengaku, pembuatan wayang ini dilakukan secara turun temurun dari
keluarganya, bahkan kakeknya merupakan dalang yang terkenal pada masanya. Dari
warisan keluarganya, Siswanto pun mulai menyukai wayang, hingga saat ini.
Untuk menggali potensi tentang pembuatan wayang kulit agar lebih baik, Siswanto pernah
merantau ke Tegal dan Banyumas. “Saya pernah bekerja membuat wayang kulit di Tegal
kurang lebih 8 tahun, tapi setelah berkeluarga pindah ke Banyumas dan menetap selama 7
tahun”, ucap bapak dari 3 anak.

Pria berusia 44 tahun ini juga pernah memiliki pengalaman belajar di kediaman dalang
terkenal asal Semarang yaiku dalang Ki Joko Edan. “Saat saya duduk di bangku SMP, saya
pernah ikut dalang Ki Joko Edan, untuk mendalami proses pembuatan wayang”, tambahnya.

Baca Juga  Bupati Pemalang Pukul Gong Tandai TMMD Sengjuyung II Kodim 0711/Pemalang

• Pembuatan wayang butuh waktu 2 minggu
Di ruangan yang sederhana berukuran sekitar 3×1 meter, Siswanto bekerja menatah dan
mewarnai wayang. Proses pembuatan wayang tersebut dilakukan dengan menggunakan alat
pahat sederhana dan bahan dari kulit sapi atau kerbau yang sudah dikeringkan.

“Setelah kulit sapi atau kulit kerbau dikeringkan, proses selanjutnya yaitu penatahan,
menggambar sketsa wayang dan pemotongan kerangka wayang, terakhir adalah proses
pewarnaan wayang dengan cara melukis “, ujarnya.

Dalam proses pembuatan wayang kulit ini memakan waktu kurang lebih 2 minggu sampai
satu bulan, tergantung tingkat pesanan yang diterima, biasanya berkisar antara 10 hingga 60
wayang. Dari jumlah pesanan wayang tersebut, terbagi menjadi beberapa jenis wayang.
Produksi wayang kulit, banyak diminati konsumen dari Jawa Barat dan Jawa Timur. Selain
dalam negeri, produksi wayang kulit juga diminati oleh seorang pelestari seni di Jerman.
Wayang yang dikirim keluar negeri, disimpan menjadi koleksi di Museum Wayang Planet
di Jerman. Meski begitu, nama pembuat karya wayang yang berada di museum tersebut
bukanlah Siswanto, melainkan karya dari Ki Entus, sebab beliau yang bekerjasama langsung
dengan seorang pelestari seni Jerman tersebut.

Pesanan wayang kulit yang diterimanya sangat bervariasi. Contoh, ada komsumen yang
memesan wayang hanya untuk lukis wayangnya saja. Pesanan yang diterima mulai dari Rp
500.000 – Rp 8.000.000, tergantung jumlah dan jenis wayang kulit yang dipesan.
Menurutnya, “wayang berapapun harganya, tidak ternilai makna wayangnya”, ucapnya.

Dari keuntungan jual beli wayang kulit tersebut, ia dapat memenuhi kebutuhan sehariharinya. Namun, dari penjualan wayang kulit ini, ia tidak selalu mendapatkan pesanan yang
terus menerus datang. Terkadang selama 1 bulan, ia tidak mendapatkan pesanan sama
sekali. Namun pernah juga, dalam jangka waktu sehari sampai satu minggu langsung
mendapat pesanan.

Baca Juga  PRODI PGSD Sukses Selenggarakan Turnamen Futsal SD Se-Mitra PPL UNISNU Jepara 

“Pesanan yang saya dapat tidak tetap lah intinya”, ujarnya.

Menurutnya, tidak mudah mencoba memperkenalkan wayang pada anak-anak jaman
sekarang, termasuk Gen Z. Anak-anak di era sekarang, justru terpaku dengan gadget
dibandingkan tertarik dengan budaya sekitar. Ia mengaku, perkembangan seni di Pemalang
sangat kurang maju, justru perkembangan seni yang cukup maju menurutnya adalah daerah
Jawa Barat.

Pria tersebut mengaku, kotanya seperti sudah melupakan budaya-budaya yang ada, justru di
daerah seperti Solo dan Jogja masih memelihara seni seperti wayang, bahkan memiliki bos
wayang yang menjadi bukti bahwa wayang masih dipelihara dengan baik disana. Bahkan,
langka ditemukan pembuat wayang yang ahli dan berpengalaman puluhan tahun seperti
Siswanto. Ia mengaku, hanya dirinya yang tersisa sebagai pembuat wayang, “Ya ada
pembuat wayang selain saya, tapi kebanyakan masih pada belajar, kalau saya sudah
pengalaman bertahun-tahun”, ucapnya.

Keluarga Siswanto, hampir semua anggotanya terjun ke dunia seni. “Dari 6 bersaudara, 4
saudara laki-laki saya semuanya terjun ke dunia seni. Saya juga mewariskan budaya
membuat wayang kepada semua anak saya”, tambahnya. Untuk membantu perekonomian
keluarga Siswanto dibantu Istrinya yang bekerja sebagai penjahit.

Walau sering berkomunikasi dengan dalang, ia sama sekali tidak tertarik untuk menjadi
dalang. Kakeknya adalah dalang terkenal pada zamannya. Ia mengaku tidak bisa menjadi
dalang, karena menurutnya dalang itu harus mumpuni, semua harus punya termasuk uang,
kepintaran dan perlengkapan dalang. Dulu, Siswanto berniat untuk menjadi dalang, namun
tidak ada yang memanggilnya untuk tampil di acara-acara untuk menjadi hiburan, ia juga
memikirkan alternatif pekerjaan lain yaitu kuli batu. Namun, ia memiliki rasa malu karena
menganggap dalang tidak pantas untuk menjadi kuli batu. Menurutnya, tidak ada istilah
mantan dalang, menjadi dalang itu selamanya dan sampai mati. Alasan tersebut, yang
membuatnya lebih memilih membuat wayang, daripada menjadi dalang penerus kakeknya.(RedG/*)

Komentar

Tinggalkan Komentar