oleh

Sastrawan Indonesia, Pasca Indonesia Merdeka

Penulis : Aisyah Kimberly Maroe (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

Jakarta –  Pasca kemerdekaan mempengaruhi semua kegiatan kebudayaan, termasuk kesusastraan. Para sastrawan Indonesia waktu itu merasakan sekali kemerdekaan dan tanggung jawab untuk mengisi kemerdekaan dengan karya yang betul-betul mencerminkan manusia merdeka. Beberapa sastrawan yang merasakan kemerdekaan ini adalah Chairil Anwar, Pramudya Ananta Toer, Utuy Tatang Sontani, dan Asrul Sani. Mereka ini kemudian digolongkan ke dalam sastrawan angkatan 45.

 

Chairil Anwar

Menurut H.B. Jassin, Chairil Anwar telah menulis 72 sajak asli (satu dalam bahasa Belanda), dua sajak saduran, 11 sajak terjemahan, tujuh prosa asli (satu dalam bahasa Belanda), dan empat prosa terjemahan. Dengan demikian semua karya Chairil Anwar berjumlah 96 judul. Sajak Chairil Anwar yang pertama kali diterbitkan ialah Deru Campur Debu pada tahun 1949. Kumpulan sajaknya yang ke dua Kerikil Tajam  dan Yang Terempas Dan Yang Putus diterbitkan pada tahun 1949. Di samping itu masih terdapat beberapa sajak Chairil yang dikumpulkan bersama-sama sajak Asrul Sani dan Rivai Apin dalam sebuah buku yang diberi judul Tiga Menguak Takdir diterbitkan pada tahun 1950. Sedangkan sajak-sajak Chairil yang belum termasuk dalam ketiga buku tersebut dikumpulkan oleh H.B. Jassin dalam bukunya Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45 diterbitkan pada tahun 1956.

 

Pramoedya Ananta Toer

Salah satu sastrawan Indonesia adalah Pramoedya Ananta Toer. Kurniawan (2002:14) mengungkapkan bahwa Pramoedya Ananta Toer lahir di Blora, 6 Februari 1925. Blora bisa jadi merupakan kota kecil yang sangat bersejarah bagi seorang Pramoedya Ananta Toer. Ini sangat erat kaitannya, karena di kota itu pula Pramoedya dilahirkan dan dibesarkan, sehingga ia sangat paham mengapa dan bagaimana peristiwa-peristiwa yang menjadi inspirasi cerita- ceritanya itu terjadi. Kehidupan sosial Pramoedya Ananta Toer tidak lepas dari peradaban tradisional Jawa yang masih mengenal sistem pelapisan sosial pada masyarakat yang menimbulkan sebuah kekuasaan antar lapisan masyarakat tersebut. Dalam kehidupannya Pramoedya banyak mendapatkan perlakuan yang tidak selayaknya karena hasil karyanya yang selalu menggambarkan kekejaman maupun kekuasaan pada zaman tersebut dan menimbulkan kontroversi. Pramoedya menghasilkan berbagai jenis karya. Tidak hanya karya yang bersifat non-fiksi melainkan juga fiksi. Beberapa karya dari Pramoedya yaitu novel Gadis Pantai sebagai novel pertama, sedangkan novel kedua dan ketiga telah lenyap oleh keganasan kuasa, kepicikan pikir, kekerdilan tradisi aksara oleh vandalisme Angkatan Darat. Sebagaimana diungkapkan oleh Pramoedya sendiri dalam kata pengantar novel tersebut bahwa ”kisah ini hasil imajinasi saya pribadi tentang nenek saya dari pihak ibu, nenek yang mandiri dan yang saya cintai”.

Baca Juga  Strategi Pemasaran Bisnis Di Era Revolusi Industri 4.0

 

Utuy Tatang Sontani

Utuy Tatang Sontani yang lahir di Cianjur pada tahun 1920. Utuy meninggal dunia di Rusia pada tahun 1979 (Sontani, 2002, hlm. 5). Selanjutnya, Toer (dalam Sontani, 2002, hlm. 5) mengatakan bahwa ada warna muram yang terdapat dalam hampir semua cerpen Utuy Tatang Sontani sehingga Pramoedya menyebut Utuy sebagai orang yang pesimis. Cerpen “Menuju Kamar Durhaka” dan “Berita dari Parlemen” merupakan cerpen karya Utuy Tatang Sontani yang ditulis pada tahun 50-an. Banyak peristiwa yang terjadi pada masa revolusi oleh Sontani diungkapkan dengan jelas. Penggambaran peristiwa dan kehidupan dengan segala pernik-perniknya yang melatari kehidupan tokoh-tokoh dalam setiap cerpennya selalu menceritakan rakyat kecil yang umumnya adalah tokoh perempuan yang mengalami kesengsaraan. Dalam kata pengantar kumpulan cerpen “Menuju Kamar Durhaka”, Rosidi mengatakan bahwa kedua cerpen itu awalnya sangat sulit untuk diperoleh dan dibaca karena pada waktu itu Sontani termasuk ke dalam sastrawan yang disebut sastrawan eksil, yang karya-karyanya dilarang terbit di Indonesia. Namun, dengan bergulirnya reformasi karya-karya sastrawan eksil dapat diperoleh, sekaligus dapat dibaca. Sampai akhir hayatnya, Rosidi (dalam Utuy, 2002, hlm. 5) berkomentar bahwa cerpen-cerpen Utuy Tatang Sontani demikian juga dengan drama-dramanya sering tidak dijumpai kehidupan keluarga yang berbahagia.

 

Asrul Sani

Asrul Sani lahir di Rao, Sumatera Barat, pada 10 Juni 1926. Ia merupakan anak bungsu dari tiga orang bersaudara. Ayahnya, Sultan Marah Sani Syair Alamsyah Yang Dipertuan Padang Nunang Rao Mapat Tunggul Mapat Cacang, merupakan kepala adat Minangkabau di daerahnya. Ibunya Nuraini binti Itam Nasution, adalah seorang keturunan Mandailing. Di dalam dunia sastra Asrul Sani dikenal sebagai seorang pelopor Angkatan ’45. Kariernya sebagai sastrawan mulai menanjak ketika bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin menerbitkan buku kumpulan puisi yang berjudul Tiga Menguak Takdir. Kumpulan puisi itu sangat banyak memperoleh tanggapan, terutama judulnya yang mendatangkan sejumlah tafsir. Setelah itu, mereka juga menggebrak dunia sastra dengan memproklamirkan Surat Kepercayaan Gelanggang sebagai manifestasi sikap budaya mereka. Gebrakan itu benar-benar mempopulerkan mereka.

Baca Juga  Sri Mulyani Sang Jendral Ekonomi Yang Tegas dan Menakutkan Bagi Pengemplang Pajak

Sebagai sastrawan, Asrul Sani tidak hanya dikenal sebagai penulis puisi, tetapi juga penulis cerpen, dan drama. Di samping itu, ia juga dikenal sebagai penulis esai, bahkan penulis esai terbaik tahun ’50-an. Salah satu karya esainya yang terkenal adalah Surat atas Kertas Merah Jambu. Sejak tahun 1950-an Asrul lebih banyak berteater dan mulai mengarahkan langkahnya ke dunia film. Ia mementaskan Pintu Tertutup karya Jean-Paul Sartre dan Burung Camar karya Anton P, dua dari banyak karya yang lain. Skenario yang di tulisnya untuk Lewat Jam Malam (mendapat penghargaan dari FFI, 1955), Apa yang Kau Cari Palupi? (mendapat Golden Harvest pada Festival Film Asia, 1971), dan Kemelut Hidup (mendapat Piala Citra 1979) memasukkan namanya pada jajaran sineas hebat Indonesia. Ia juga menyutradarai film Salah Asuhan (1972), Jembatan Merah (1973), Bulan di atas Kuburan (1973), dan sederet judul film lainnya. Salah satu film karya Asrul Sani yang kembali populer pada tahun 2000-an adalah Nagabonar yang dibuat sekuelnya, Nagabonar Jadi 2 oleh sineas kenamaan Deddy Mizwar.(RedG)

 

 

Komentar

Tinggalkan Komentar