oleh

Pengaruh Politik terhadap Sastra Angkatan 50

Penulis : Siti Nurhayati,  jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta – Sastra Angkatan 50 dipengaruhi oleh keadaan Indonesia yang memasuki masa transisi dari penjajahan yang kelam menuju kemerdekaan yang cemerlang. Angkatan ini dapat dikatakan dipelopori oleh H.B. Jassin yang ditandai dengan terbitnya majalah “Kisah” yang ditanganinya. Pergolakan politik sangatlah mencolok dalam angkatan ini, sehingga memicu munculnya istilah “Krisis Sastra” dan “Sastra Majalah” yang diperkenalkan oleh Nugroho Notosusanto dalam tulisannya yang dimuat dalam majalah Kompas, berjudul “Situasi 1954”.

Dekrit Presiden 

Awal 1950, Indonesia menganut sistem politik parlementer, yaitu suatu sistem pemerintahan dimana menteri bertanggung jawab langsung kepada parlemen, kemudian ditambah dengan overwicht (kekuasaan lebih) kepada parlemen. Namun, pada 5 Juli 1959, sistem ini dibubarkan setelah Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden untuk mengembalikan sistem demokrasi kepada demokrasi UUD 1945, karena sistem parlementer dianggap tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia yang dijiwai oleh semangat gotong royong. 17 Agustus 1959, Soekarno menyampaikan pidatonya yang berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita” atau banyak dikenal dengan Manifesto Politik (Manipol). Dalam pidatonya ini, kembali diangkat isu-isu budaya guna menentang imperialisme politik, ekonomi, dan budaya.

“Dan engkau, hai pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi engkau jang tertunja anti imperialisme ekonomi, engkau jang menentang imperialisme politik, kenapa di kalangan engaku banjak jang tidak menentang imperialisme kebudajaan?”

Kemudian,tujuh bulan setelah dibubarkannya parlemen, Soekarno membentuk Kabinet Gotong Royong.

Lembaga Budaya di Partai Politik 

Akibat dari dikeluarkannya maklumat Pemerintah pada 03 November 1945, mulailah terbentuk partai-partai politik. Pertama ada PNI kemudian Masyumi menyusul di tanggal 7-nya, lalu kembali disusul dengan partai Sosialis pada Desember. Sejak itu, tumbuhlah berbagai macam partai politik hingga puncaknya menjelang pemilu pertama pada 1955 dan saat itu terdapat 36 partai politik. Melihat dampak negatif dari banyaknya partai saat itu, maka tahun 1960, Soekarno mengeluarkan sebuah kebijakan, yaitu “Peraturan Penyederhanaan Kepartaian”. Setelah membubarkan PSI dan Masyumi, ia hanya mengizinkan sepuluh partai saja, yaitu: PNI, Partai Sosialis Islam Indonesia (PSII), PKI, Persatuan Tarbiyah Islamiyah Indonesia (PERTI), Nahdlatul Ulama (NU), Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), Partai Katolik, Partai Kristen Indonesia, Partai Murba, dan Partindo.

Tiap-tiap partai juga memiliki gaya bahasanya sendiri. Partai Islam lebih suka menggunakan kata-kata dengan bahasa Arab, seperti menggunakan kata permusyawarahan untuk menggantikan konferensi (conference). Partai Sosialis yang berkiblat pada Eropa dan Amerika, seperti meminjam cita-cita politik, intelektual dan istilah-istilah Eropa. Sebaliknya, Partai Komunis tidak memainkan peranan yang kuat dalam hubungannya dengan pemurnian bahasa Indonesia, karena mereka cenderung lebih luwes. Contohnya, saat kampanye Pemilu 1995, mereka menggunakan tulisan-tulisan Arab jika dinilai berguna, di Jawa mereka memakai huruf Jawa untuk menandakan partainya, dan mereka juga menggunakan jargon-jargon internasionalnya yang dipinjam dari bahasa Tionghoa (pengaruh kebahasaannya tidak terlalu kuat), bahasa Rusia dan Eropa, seperti: imperialist, kapitalis, bordjuos, dan lainnya.

Baca Juga  Hoaks Vs Bela Negara Di Media Sosial

Melalui hal-hal diatas, dapat digolongkan partai-partai mana saja yang memiliki peranan secara nyata terhadap politik dan kebudayaan, yakni PNI dengan LKN, PKI dengan Lekra, dan NU dengan Lesbuminya.

Lembaga Kebudayaan Nasional 

Berada dibawah naungan Partai Nasional Indonesia (PNI), LKN diketuai oleh Sitor Situmorang, seorang sastrawan yang memiliki kecenderungan mengarahkan haluan ke arah kiri (PKI). LKN dibentuk melalui kongres PNI yang dilaksanakan pada 20 Mei 1959 di Solo. Kongres yang digagas oleh PNI untuk menunjukkan komitmen partai dalam pembangunan kebudayaan nasional. Bagi PNI, kemajuan sebuah bangsa tergantung dari kemajuan budayanya, selain itu juga untuk menyatukan organisasi-organisasi atau perseorangan kebudayaan dan kesenian yang pikiran-pikirannya diharapkan dapat beriringan dengan pikiran-pikiran PNI di lapangan kebudayaan.

Organisasi ini terlebih dahulu membentuk cabang-cabangnya di tingkat daerah sebelum ke tingkat pusat. Misalnya, LKN cabang Solo yang sudah ada sejak 1955, LKN di bali sejak 1956, dan ada juga beberapa cabang LKN lainnya yang berafiliasi dengan PNI.

Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi)

Lesbumi dibentuk pada 18 Maret 1962 dibawah naungan partai NU. Tokoh yang mempeloporinya ada Djamaludin Malik, Usmar Ismail, dan Asrul Sani. Organisasi ini memiliki pedoman bagi setiap senimannya, yakni penafsiran dari ‘kebudayaan Islam’, ‘seni Islam’, dan ‘seniman/budayawan Islam’. Anggota organisasi ini pun berasal dari berbagai kalangan, seperti berbagai macam artis, sastrawan, dan ulama yang memiliki latar belakang seni.

Berdirinya Lesbumi dipengaruhi oleh 2 faktor, yakni faktor ekstern dan faktor intern. Tiga peristiwa yang menjadi faktor ekstern ‘momen politik’, yaitu:

  • Keluarnya manifesto politik pada tahun 1959 oleh Soekarno.
  • Pengaruh utama Nasakom dalam tata kehidupan sosio-budaya dan politik Indonesia pada awal 1960-an.
  • Perkembangan Lekra yang semakin akrab dengan PKI baik secara kelembagaan maupun ideologis.

Dari faktor eksternal tersebut, kita dapat mengetahui bahwa lahirnya Lesbumi selalu dikaitkan dengan peranan Lekra yang semakin menonjol.

Sedangkan, faktor internnya ‘momen budaya’, yaitu:

  • Kebutuhan akan pendampingan terhadap kelompok-kelompok seni budaya di lingkungan nahdhiyyin.
  • Kebutuhan akan modernisasi seni budaya.

Namun, mengapa kelahiran Lesbumi dikaitkan dengan Lekra yang semakin berpengaruh, sedangkan tahun berdirinya saja berbeda jauh? Hal ini disebabkan saat kemunculan Lekra tahun 1950, Nu mengalami persoalan intern dengan Masyumi, dan kehidupan NU terkonsentrasi di Surabaya, bukan di Jakarta.

Baca Juga  Urgensi Apel Pagi Dalam Upaya Pembentukan Karakter Anti -Korupsi pada Petugas Pemasyarakatan di Rutan Klas IIB Demak 

Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra)

Lekra didirikan atas inisiatif D.N. Aidit, Nyoto, M.S. Ashar, dan A.S. Dharta pada tanggal 17 Agustus 1950, enam bulan setelah diumumkan “Surat Kepercayaan Gelanggang” yang berpandangan humanisme Universal. Lekra menganut paham Realisme Sosial atau paham “seni untuk rakyat”. Lekra bekerja di bidang kebudayaan, kesenian, dan ilmu pengetahuan. Lekra memiliki tujuan untuk menghimpun tenaga dan kegiatan para penulis, seniman, dan pelaku kebudayaan lainnya, serta berkeyakinan bahwa kebudayaan dan seni tidak bisa dipisahkan dari rakyat.

Pada 1961, Lekra menyatakan sebagai organisasi kebudayaan yang memperjuangkan slogan “seni untuk rakyat” dan “politik sebagai panglima”. Dalam waktu singkat Lekra diikuti oleh Hank Ngantung, Joebaar Ajoeb, Herman Arjuno, dan lain-lain. Dengan demikian pandangan atau paham Marxisme-Leninisme mulai menyelusupi sastra Indonesia.

Tahun 1964, Bakri Siregar menulis bahwa seniman yang tergabung dalam Lekra dengan tegas berpihak kepada rakyat dan menganut paham seni untuk rakyat serta menolak aliran seni untuk seni. Lekra menjadikan semua ide, pikiran, serta karya-karya yang berbau marxisme-sosialis sebagai bahan dan merupakan pegangan, serta menerima pula metode realisme sosialis dengan pegangan: politik adalah panglima, serta mengabdi kepada rakyat pekerja.

Dalam pandangan Lekra sebagai penganut aliran realisme sosialis, kebudayaan bukan saja tak dapat dipisahkan dari politik, melainkan kebudayaan merupakan bagian dari politik. Oleh karena itu, sastra juga merupakan bagian dari politik. Pandangan ini memposisikan sastra hanya sebagai alat politik. Sastra harus menerapkan paham Marxisme-Leninisme, termasuk di dalamnya teori dan kritik sastra.

Paham realisme sosialis ini memang pernah diterapkan dalam beberapa karya sastra Indonesia, bahkan ada yang berbau anti Muslim, seperti karya Utuy Tatang Sontani “Si Kampeng” dan karya Pramoedya Ananta Toer “Si Manis Bergigi Emas”, yang menggambarkan para kyai dan haji sebagai tokoh penghisap rakyat.

Setelah pecahnya G-30-S/PKI, Lekra dibubarkan berdasarkan Ketetapan MPRS/Nomor 25/Tahun 1966 tentang Pelarangan Ajaran Komunisme, Leninisme, dan Pembubaran Organisasi PKI beserta Organisasi Massanya. Nasib para pengarang Lekra, seperti Pramoedya Ananta Toer, Putu Oka Sukanta dan lain-lain dipenjara bertahun-tahun tanpa adanya peradilan oleh rezim Orde Baru. Beberapa pengarang lainnya yang berada di luar negeri seperti di Belanda dan negara lainnya tidak dapat pulang karena adanya larangan dari Pemerintah Soeharto untuk kembali ke Indonesia, bahkan beberapa dari mereka meninggal di negara-negara yang menampungnya.(RedG)

 

Komentar

Tinggalkan Komentar