oleh

Misteri Sebuah Catatan

Cerita Pendek

Penulis : Dion Rahmat Prasetiawan

Di sebuah rumah tua pebukitan sore ini. Aku mencari adik perempuanku yang hilang saat bermain di sekitaran perkarangan belakang rumah yang berada dekat rimbunan bambu karena hari akan gelap. Biasanya aku temukan ia sedang berdiri didekat pohon cemara mengenakan daster putih, kadang merah yang ia sukai dan memangku di dadanya sebuah boneka kaskus yang aku belikan dahulu untuknya. Saat ini kami tinggal hanya tinggal berdua di rumah ini. Orang tua kami sedang berada di pusat ibukota kemudian meninggalkan kami lantaran diaanggap remaja yang bisa hidup mandiri. Paling tidak mereka mengirim biaya kehidupan kami setiap bulannya barangkali sebagai rasa kasih sayang orang tua terhadap anaknya, maka kesedihan tak pernah meliputi kami.

Rumah kami agak berada jauh dari pemukiman penduduk desa, jadi rumah kami berada di atas pebukitan, setiap malamnya akan tampak kelap-kelip cahaya rumah penduduk dari kejauhannya dan pada saat malam ini aku makan malam berdua dengan adikku seperti biasa, dihiasi lampu-lampu lilin gantung sebagai penerawang meja makan kami, dan terdengar pula dari luar rumah kami suara desis-desis serangga, koak burung-burung malam, serta lolong-lolongan serigala atau anjing yang tidak pernah aku jumpai setiap aku pergi berburu.

Adikku memang jarang suka berbicara, biasanya ia hanya tersenyum pucat dan jika ingin sesuatu hanya menunjuk-nunjuk dengan jari telunjuknya saja. Kalau tidak ingin sesuatu aia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saja. Tapi dia orang yang baik, setiap beberapa kali kalau aku mengajaknya berburu ke hutan ia sangat pandai menunjukan arah untuk mendapatkan tangkapan yang bagus ataupun menyelamatkan aku dari tersesatnya aku ke belantara hutan, yang bahkan para penduduk takut untuk memasukinya karena ada rumor-rumor tahayul bahwa ada gadis berpakaian putih kadang merah mengganggu, menyesatkan dan bahkan menghilangkan mereka.
Sebetulnya saat sedari kecil kami sudah berpisah, aku besar bersama orang tuaku sedang adikku sendirian besar bersama almarhum nenekku di sini, kami saling berjumpa kala pertamakali saat aku dan orang tuaku pindah ke sini. Memang sampai sekarang aku tidak mengerti mengapa kami dipisahkan, namun aku membiarkan persoalan itu tetap tersimpan.

Baca Juga  Walau Trend Covid di Kota Semarang Turun, Hendi Akan Turunkan 50% Mobilitas Warga

Kala pertama kami datang, adikku hanya bersembunyi dari balik lorong saat sedang membersihkan kamar pindahanku aku menemukan diari catatan tua menguning kotor, lecek, dan sobek seperti sisa terbakar. Sekilas aku buka lembaran-lembarannya. Tulisannya berbahasa Inggris salah satu catatan yang kuingat tertulis, ”orang-orang desa ini sama saja, korbankan aku kepada orang-orang Jepang biadap ini! Orang tuaku kalian biarkan dihabisi agar kalian selamat, bukankah oleh karena kedermawanan bapakku kalian masih bisa hidup? Aku bunuh d….” Tersobek.

Setelah itu tiba-tiba ada suara seorang gadis menyapa namaku, dari pojokan sudut pintu rumah. Aku menelengkan kepala lalu melihat seorang gadis jelita tersenyum pucat kepadaku, dari wajahnya yang pucat dan matanya tampak menjelaskan bahwa dia orang yang telah bertahun-tahun mengalami kesendirian dan kesepian, dan buku diari yang aku pegang secara tiba-tiba saja hilang. Mendadak aku seperti orang yang baru bangun dari amnesia sejak lama, ingatan terang muncul dan itu tertanam segumpal memori dalam otakku bahwa aku memiliki seorang adik yang aku sayangi. Setelah sejak saat itu pula kami sering bersama, berjalan-jalan ke desa, atau kadang ke hutan untuk berburu juga memancing ikan. Dan tentang catatan yang mendadak menghilang itu aku sudah benar-benar lupa.
***************

Sekejap semua kehidupanku menjadi berantakan. Orang-orang desa bahkan orang tuaku menganggapku aneh, mereka selalu membawa aku pada tabib setempat untuk berobat akan tetapi mereka selalu ketakutan padaku dan gagal untuk mengobati sakitku. Mereka para dokter tak bisa mendeteksi gejala sedikit pun bahwa aku sedang sakit. Aku memang tidaklah sakit. Malahan, aku merasa lebih sehat semenjak aku pindah di sini. Tapi gara-gara kalian, batinku, adikku itu menjadi ketakutan dan selalu sembunyi entah ke mana. Tapi kami selalu betengkar dan bersikeras bahwa mereka mengakui bahwa aku sakit, aku sendiri juga bersikeras pula bahwa aku sama sekali tidak saki, pada akhirnya hasil ketegangan selama berhari-hari, keputusan kami adalah awalnya mereka memutuskan pindah. Aku menolaknya. Akhirnya mereka meninggalkan aku di sini, dan aku juga berkeputusan akan tetap tinggal di sini.

Baca Juga  Mahasiswa KKN Unisri Dorong Desa Mandiri

Kini aku bebas. Serta sekarang aku sedang mencari adikku yang hilang. Sialnya matahari tampak mulai terbenam. Dan akan sangat menyulitkan pencarian bila malam tiba, sebab hutan menjadi gelap dan ribuan bahaya dari mahkluk yang berbahaya akan menyerangku. Lalu, bagaimana dengan adikku? Sudah lama beberapa hari ia menghilang. Aku takut ia diserbu serigala atau hantu yang suka menculik orang. Hantu? Aku tersentak menyebutkan kata hantu dalam pikiranku, karena persoalan seperti itu yang membuat keluarga kami bertengkar. Aneh saja rasanya, dan aku tak bisa menerimanya bahwa ada makhluk demikian mengganggu aku. Aku tak pernah percaya seusatu yang berada di luar nalar manusia.

Terpaksa malam ini aku mesti mencarinya, beuntung aku selalu menyimpan senter. Perlahan aku berjalan memasuki ke hutan gelap. Aku hendak meneriaki namanya, tapi aku tak pernah ingat untuk menanyakan namanya. Aku bergumam tentang orang tuaku yang terlalu jahat, sebab menelantarkan adikku, tidak mengakuinya hangga bahkan tidak memberikannya nama. Aku jelas curiga apakah mungkin adikku itu anak haram oleh satu dari mereka yang pernah berselingkuh. Duh, lebih baik aku tinggalkan segala pikiran itu. Aku ingin fokus mencari adikku yang hilang.

Setelah berada jauh masuk lebih dalam aku melihat cahaya benderang dari sudut yang jauh. Bagai putri Chandra. Aku mendekat ke arahnya. Dia adikku!! Syukurlah aku masih dapat melihatnya. . Kali ini ia tampak lebih jauh berbeda, potongan pakaian putih dan boneka dan wajahnya yang tak pucat lagi. Ia membimbingku menulusuri hutan lebih dalam menuju jurang. (RedG/Dion Rahmat Prasetiawan. Lahir di Pekanbaru pada tanggal 28 Agustus 1997. Pegiat sastra di komunitas Suku Seni Riau. Instagram @dion_r.pra. Beberapa karyanya pernah dimuat di berbagai media cetak maupun media online.)

Komentar

Tinggalkan Komentar