oleh

Mantan Napi Narkoba: Penjara Bukan Solusi bagi Penyalahguna Narkoba

Semarang- Upaya Pemerintah Indonesia dalam menurunkan kasus narkotika, sepertinya tak kunjung membuahkan hasil. Dari data remisi Hari Kemerdekaan ke-75 RI Tahun 2020 di Kanwil Kemenkumham Provinsi Jawa Tengah tercatat ada 5.991 narapidana dan tahanan mendapat remisi.

Dari jumlah itu narapidana dan tahanan narkotika mencapai 2.238 orang, padahal jumlah kapasitas lapas dan rutan di Jateng hanya muat 9.258 orang. Tentu hal itu menjadi pertanyaan mengapa hal itu bisa terjadi? yang tentunya bisa saja semua orang tidak tau apa artinya addiction atau ketergantungan. Seperti pengakuan korban penyalahgunaan narkotika asal Semarang, Budi Rahardjo.

Ia sendiri mengaku, menjadi korban penyalahgunaan narkotika sejak tahun 1997-1999, dan sempat berhenti total clean selama 14 tahun. Akan tetapi justru kembali terjerat menjadi pengguna pada 2015, semua itu awalnya hanya coba-coba dari ajakan teman.

Budi memberikan gambaran, bahwa semua itu tidak lepas dari pemahaman aparatur pemerintahan maupun aparat penegak hukum di Indonesia yang menerapkan kebijakan kalau pecandu begitu ditangkap menggunakan narkotika harus di penjarakan selama mungkin. Padahal, di lapangan hasilnya terbukti tidak efektif. Karena setiap tahun tahanan narkotika selalu meningkat dan lapas maupun rutan semakin overload.

“Saya sendiri adalah korban narkotika, saya adalah anak yang disayangi oleh keluarga saya, tapi malah berulang-ulang kali menyakiti hati dan perasaan keluarga saya. Apalagi setelah pernah masuk penjara dan rehab, barulah di situ saya menyadari menggunakan narkotika itu salah, tapi penjara tetap bukan solusinya,”kenang Budi Rahardjo, dalam kisahnya yang dibagikan kepada wartawan, Rabu (7/4/2021).

Budi mengambil contoh yang sederhana untuk kasus narkotika. Pertama, ibarat ada seorang nenek jalan sendiri di jalanan, kemudian saat menyebrang jalan, nenek itu ditabrak bus hingga kepalanya sobek, akhirnya harus dirawat di UGD. Akhirnya, dokter datang memberikan nenek itu dengan diamorphine, bertujuan untuk menahan rasa sakit selama tiga minggu setiap hari. Begitu sudah agak sembuh diamorphine yang diberikan dihentikan, menyebabkan badan nenek tersebut akan terasa sakit semua.

Yang menjadi pertanyaan, kenapa nenek itu tidak mencari obat-obat itu, begitu sudah keluar dari UGD atau si nenek menjadi junkis? Padahal obat-obatan yang diberikan sama dokter di Rumah Sakit terkadang jauh lebih murni, ditambah dosis lebih tinggi. Apabila dibandingkan obat-obatan yang dipakai para pecandu di luar sana. Karena yang dibeli di luar, tentu sudah diolah dan dosis sangat rendah.

Baca Juga  Ritual Kumkum Sendang Mintoloyo, Perform Seniman Semarang

Contoh kasus kedua, pernah dipratekkan oleh Profesor asal Kanada, Bruce K. Alexander. Di mana Bruce melakukan penelitian tentang psikologi kecanduan di Simon Fraser University pada 1970. Saat itu Bruce menaruh satu tikus di kandang A dan diberi air minum bersih. Kemudian tikus kedua ke kandang B diberi air minum yang sudah diberikan semua jenis obat-obatan, ada heroin, morphine, cocaine, dan lainnya.

Hasilnya, tikus di kandang B mati lebih cepet. Uji coba selanjutnya 10 tikus dimasukkan dalam satu kandang besar, di mana dalam kandang itu diberikan terowongan, mainan roda-rodaan, rumah-rumahan hingga pohon-pohon kecil layaknya di halaman playground. Dalam kandang itu, diberi dua botol minum, botol A air bersih dan botol B air yang sudah dicampuri obat-obatan. Dan hasilnya, semua tikus begitu minum botol B tidak akan minum B lagi, memilih lari minum ke botol A, selanjutnya tikus minum dari botol A terus. Pertanyaanya kenapa itu bisa terjadi?

“Kesimpulan saya addiction itu semua dari koneksi, komunikasi atau boleh dibilang lingkungan. Jadi kalau aparat penegak hukum, selalu menghukum pengguna narkotika atau pecandu dengan cara dikurung masuk lapas maupun rutan, pastinya bukannya mereka semakin takut dan kapok, melainkan sebaliknya mereka semakin jadi dan semakin banyak ide dan pengalaman,” tandas Budi.

Menurut pria yang akrab disapa Ceming itu, lingkungan di dalam penjara 85 persen penyalahguna dan beberapa saja yang memang seorang pengedar atau justru bandar narkotika. Dengan demikian, sudah tentu hal yang mereka bahas dan ceritakan adalah pengalaman dan tindakan yang dialami terkait selama menggunakan obat-obatan.

Maka menjadi pertanyaan lagi, bagaimana pemerintah Indonesia bisa menurunkan crime rate narkotika? Ditambah seorang penyalahguna apabila sudah dimasukkan dalam penjara, nantinya akan masuk daftar kriminal. Dengan begitu, saat mereka bebas, akan mustahil bisa mendapatkan pekerjaan, belum lagi stigma negatif masyarakat. Hingga akhirnya mereka down tidak tahu apa yang bisa diperbuat dan stress.

Baca Juga  48 Jam Sat Narkoba Polresta Jambi Ungkap Tiga Kasus

“Akhirnya pelariannya adalah menghubungi teman-temannya yang pernah dikumpulkan atau dalam satu jejaring. Menyebabkan yang awalnya mereka pecandu akan berubah menjadi pengedar hingga bandar. Mereka akan mencari uang untuk dapatkan obat-obatan yang nantinya akan mereka jual belikan lagi,” ungkap Budi pula.

Ia merasa pengalamannya yang sudah masuk dalam penjara, karena melihat langsung di dalam hampir 80 persen dari semua tahanan dan narapidana adalah perkara narkotika. Padahal status awal mereka hanya korban atau penyalahguna.

Karena itu, menurut Budi, seharusnya pemerintah Indonesia bisa membentuk satu yayasan atau lembaga yang bertugas untuk filterisasi perkara narkotika. Dengan begitu kalau menemukan ada tahanan dengan analisa memang seorang pecandu narkotika, tinggal direhabkan secara gratis. Ditambah begitu tahanan itu keluar, pemerintah juga sudah melakukan kerjasama dengan perusahaan atau pabrik untuk membantu mempekerjakan mereka.

“Recovering addict itu, tentu setengahnya jadi tanggungjawab pemerintah. Kalau diterapkan metode itu, saya rasa akan lebih manusiawi dan para pengguna akan bangkit melihat masa depan, ditambah anak-anak muda yang sudah salah jalan akan kembali ke jalan yang terang dan bisa jadi orang normal atau kemungkinan bisa jadi orang yang lebih hebat dikemudian hari,” harapnya.

Budi juga berpesan kepada para korban narkotika, agar berhenti menyalahgunakan narkotika. Sehingga begitu sembuh, di luar tidak ada lagi tulisan atau kesan menjadi mantan pengguna narkotika dalam pikiran masyarakat. Melainkan apabila sembuh nantinya, bisa hidup lebih baik dan hebat lagi.

Tentunya apabila dibandingkan dengan masyarakat di luaran sana. Budi sendiri memberanikan menceritakan pengalaman ini, agar ada perubahan yang baik dalam penanganan penyalahgunaan narkotika. Ia melihat selama di dalam rutan, sebenarnya penyalahguna yang ditahan itu rata-rata adalah orang baik, karena tidak ada orang jahat, melainkan mereka semua hanya salah jalan.

“Yang menjadi masalah kalau mereka yang salah jalan dihukum dalam satu lingkungan, maka lingkungan itu akan tambah menjadi lingkaran baru dengan pemahaman baru tentang narkotika, hal itu karena living circle habitatnya pengguna narkotika semua,” jelasnya. (RedG/Dicky Tifani Badi)

Komentar

Tinggalkan Komentar