oleh

Sastrawan Perempuan Angkatan Pujangga Baru

 Penulis :  Anisah Rahmayanti (Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

Jakarta – Sastrawan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah seorang ahli sastra, pujangga; pengarang prosa dan puisi atau orang yang cerdik cendekia. Sastrawan juga adalah sebutan bagi penulis sastra atau seseorang yang menggeluti dunia sastra  secara lebih dalam dan bukan hanya sekadar mengenal sastra secara biasa.

Dalam dunia sastra terdapat periodisasi-periodisasinya, seperti adanya angkatan Pujangga Lama, Sastra Melayu Lama, Balai Pustaka, Pujangga Baru, Angkatan 1945, Angkatan 1950, Angkatan 1966, Angkatan 1980, Angkatan Reformasi, dan Angkatan 2000. Namun kali ini penulis akan membahas mengenai Angkatan Pujangga Baru.

Angkatan Pujangga Baru terbentuk pada tahun 1933. Angkatan ini hadir untuk menggantikan angkatan sebelumnya, yaitu Balai Pustaka yang telah berjaya sebelumnya. Alasan angkatan ini diberi nama Angkatan Pujangga Baru ialah karena karya sastra pada angkatan ini dipublikasikan lewat majalah Pujangga Baru.

Sastrawan pada angkatan Pujangga Baru seringkali didominasi oleh laki-laki, karena adanya budaya patriarki yang sulit dihentikan. Perempuan pada masa itu dianggap lebih baik jika hanya mengerjakan pekerjaan domestik sedangkan laki-laki melakukan pekerjaan publik. Maka dari itu penulis ingin mencari tahu lebih dalam mengenai siapa saja sastrawan-sastrawan perempuan di masa itu. Manfaat penulisan artikel ini ialah untuk menambah wawasan mengenai sastrawan perempuan pada masa angkatan pujangga baru baik bagi pembaca maupun bagi penulis itu sendiri.

Terdapat beberapa sastrawan perempuan pada angkatan Pujangga Baru di antaranya, yaitu:

  1. Sariamin Ismail

Sariamin Ismail adalah novelis perempuan pertama di Indonesia. Ia adalah seorang penulis yang sering memakai nama samaran Selasih dan Seleguri atau gabungan kedua nama tersebut Selasih Seleguri. Novel pertama yang dibuatnya itu berjudul “Kalau Tak Untung” dan diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1934. Ia lahir pada tanggal 31 Juli 1909  di Talu, Pasaman Barat dan meninggal di usia 86 tahun, yaitu pada 15 Desember 1995. Beberapa karya sastranya ialah “Kembali Ke Pangkuan Ayah” diterbitkan Mutiara Sumber Widya pada 1986, “Musibah Membawa Bahagia” diterbitkan Depdikbud pada 1986, “Nahkoda Lancang” terbit pada 1982, dan karya lainnya.

Baca Juga  PUASA DAN KESALEHAN SOSIAL

 

  1. Fatimah H. Delais

Fatimah H. Delais atau dikenal dengan nama pena Hamidah lahir pada 13 Juni 1915 dan meninggal pada 8 Mei 1953. Ia adalah seorang novelis dan penyair Indonesia serta salah satu pengarang wanita Indonesia yang melakukan penerbitan ke seluruh Hindia Belanda. Karya  Fatimah Hasan Delais yang terkenal adalah Novel sosial dengan judul “Kehilangan Mestika” tahun 1935. Selain menulis novel, Hamidah juga menulis puisi. Karya puisinya yaitu “Berpisah” (Poedjangga Baroe No.10 Th.2, 1935) puisi ini dengan judul yang sama juga dimuat di dalam Pandji Poestaka No. 44 Th.13, 1935, “Kekalkah?” (Pujangga Baru, No. 12 Th.2 1935).

 

  1. Saadah Alim

Saadah Alim adalah seorang penulis Indonesia yang lahir pada tanggal 9 Juni 1897 dan meninggal pada 18 Agustus 1968. Ia menempuh pendidikan di Kweekschool (Sekolah Guru) di Bukittinggi. Setelah lulus dari sekolah tersebut, ia menjadi guru di HIS Padang dari tahun 1918 – 1920, kemudian menjadi guru Meijesnormaalschool (Sekolah Guru Putri). Keistimewaannya sebagai pengarang sebelum Perang Dunia II adalah bahwa saadah Alim berani menentang adat dalam karyanya dan apa yang disumbangkan olehnya itu merupakan sesuatu yang amat berharga bagi generasi muda. Ia juga mendirikan sekaligus menjadi pemimpin redaksi majalah bulanan wanita Suara Perempuan, majalah ini berisi karya-karya yang berbahasa Indonesia dan Belanda dengan harapan akan memberi kesempatan bagi kaum wanita untuk berkarya. Karyanya yang cukup populer ialah “Pembalasannya” yakni sebuah drama yang diterbitkan oleh Balai Pustaka. Ia juga membuat kumpulan cerita pendek yang berjudul “Taman Penghibur Hati” yang ditulis sebelum perang.

 

  1. Maria Amin

Maria Amin adalah seorang penulis angkatan Pujangga Baru. Ia lahir pada tahun 1921 di Bengkulu, Sumatera Selatan. Pendidikan terakhirnya yaitu Sekolah Menengah Atas, ia pernah bekerja di bidang pendidikan. Pada zaman penjajahan Jepang banyak karya sastra sastrawan yang menentang Jepang, tetapi karya Maria Amin lebih kompromistis. Karya-karyanya, yaitu “Tinjaulah Dunia Sana” (Prosa), “Penuh Rahasia” (Prosa), “Kapal Udara” (Sajak), “Aku menyingkir” (Sajak), dan “Kekasihku Semua” (Sajak).

Baca Juga  Refleksi 100 Hari Kerja yang Terhormat Bupati dan Wakil Bupati Pemalang

 

Itulah beberapa sastrawan perempuan pada Angkatan Pujangga Baru. Setiap tokoh sastra atau sastrawan pastinya memiliki ciri khas masing-masing. Seperti Fatimah H. Delais yang menggunakan bahasa sederhana dalam penulisannya, Maria Amin yang menulis karya sastranya dengan lebih kompromistis, Saadah Alim yang berani menentang adat dalam karyanya, dan Sariamin Ismail sebagai novelis perempuan pertama di Indonesia. Sebagai generasi muda, kita haruslah bangga dengan adanya hal tersebut.

 

Pada zaman dahulu untuk menempuh pendidikan saja sulit, tetapi perjuangan mereka dalam menghidupkan dunia sastra, terutama untuk perempuan sangatlah patut untuk dijadikan contoh. Maka dari itu kita harus memulai membuat karya, dimulai dari hal kecil saja seperti menulis cerita sehari-hari atau menulis gambaran perasaan kita. Dari hal-hal kecil tersebut secara tidak langsung kita membuat karya, yang mungkin suatu saat nanti akan membuat kita menjadi bersinar.(RedG)

Komentar

Tinggalkan Komentar