Jathilan Tak Lekang oleh Jaman

Penulis : Fini Nola Rachmawati (Mahasiswi Politeknik Negeri Jakarta)

 

Jakarta – Siang itu, mengalun suara gamelan. Dari jauh sudah pelan-pelan terdengar. Paduan alat-alat perkusi dari gendang, kenong, hingga gong itu sangat menarik. Suara itu berasal dari halaman salah satu rumah di  Desa Banjarsari  yang sedang mengadakan acara pernikahan terdapat kesenian Jathilan nya.

Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) memang dikenal dengan kesenian tradisinya, salah satu kesenian itu adalah Jathilan.  Kesenian Jathilan sudah dikenal lama oleh masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya  bahkan hingga Jawa Tengah.

Kesenian rakyat ini sudah ada sejak  zaman  penjajahan  Belanda dan  terus berkembang sampai  saat ini.  Banyak sekali masyarakat yang menantikan Jatilan ini di new normal ini. Salah satu nya wanita penggemar Jathilan yang sering disapa  Mitha.

“Aku seneng sih pas tau acara pernikahan temenku memakai Jathilan. Karna udah lama banget aku ga ngeliatnya, kaya sepi aja gitu, ga ada orang yang berjoget-joget,” ucap Mitha

Ia juga menyaksikan gadis-gadis belia yang menari dengan lemah gemulai. Menyesuaikan dengan alunan gamelan yang mengalun.

“Jathilan ini tidak hanya pria saja yang bisa bermain, tetapi wanita  yang sudah berpengalaman juga bisa ikut bermain” tambah Mitha

Kesenian Jathilan juga mirip dengan seni kuda lumping dan kuda kepang pada umumnya dan nama Jathilan adalah akronim dari kalimat Bahasa Jawa, Jarane jan thil-thilan, jika diterjembahkan dalam Bahasa Indonesia berbunyi “kudanya bergerak tak beraturan”.

Di era modernisasi ini, Kesenian Jathilan mungkin saja sudah dianggap punah atau digantikan. Namun, kenyataannya tarian ini masih banyak diminati oleh masyarakat daerah khususnya wilayah  Jawa Tengah. Lalu, apa yang membuat kesenian Jathilan ini masih diminati?

Mitha menjelaskan kesenian ini masih diminati oleh masyarakat karena ada beberapa hal yang menonjol dan menjadi daya tarik penonton, antara lain kemasan pertunjukan yang menantang serta kostum yang menarik atau bisa dikatakan  eye catching. Banyak penari  Jathilan yang mempertontonkan aksi seperti makan beling, makan ayam yang masih hidup lalu diminum darahnya. Bunga, dupa, dan sajen-sajen merupakan kemasan yang digunakan sampai saat ini.

Dari segi kostum pun berbeda, gaya dengan warna lollypop merupakan pakaian yang digunakan saat pertunjukan dulu. Jadi, ditubuhnya terdapat beberapa warna sekaligus, seperti warna pink, kuning, serta hijau. Sekarang, kostum yang digunakan lebih sederhana, seperti kebaya atau jarik dengan motif modern, dipadukan dengan ikat kepala.

Walaupun  selama pandemi sempat tidak berjalan seperti biasanya, tetapi kali ini kesenian Jathillan menata dirinya kembali menjadi kuda lumping yang “mengerikan” agar nilai-nilai luhur di dalamnya tetap lestari bersamaan dengan eksistensi pertunjukannya.(RedG)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *