Suntuknya Resolusi Konflik Tenurial

OPINI

Oleh : Girli Ron Mahayunan, SH. (Alumni UGM, Anggota Kagama Pemalang)

Istilah tenurial dapat dikatakan masih kurang lazim terdengar, namun siapa sangka tenurial merupakan persoalan yang cukup pelik dalam satu dekade terakhir. Rezim demi rezim berupaya menekan angka pertumbuhan konflik tenurial yang kian melesat, berbarengan dengan upaya pembangunan yang semakin menggerus lahan masyarakat lokal. Secara harafiah, tenurial berasal dari kata “tenure” yang berasal dari bahasa latin “tenere” yang berarti memelihara, memegang, dan memiliki. Terdapat dua perspektif tenurial yang dikonstruksikan, yaitu konsep tenurial dengan kepemilikan pribadi dan kepemilikan bersama (komunal). Menurut Anne M. Larson, tenurial merujuk pada kandungan atau hakikat dari hak dan jaminan atas hak. Dalam hal ini, hak yang dimaksud adalah terhadap hak yang tumpang tindih atas sumber daya yang sama. Sementara secara teori tenurial digambarkan sebagai bundle of rights yaitu sekumpulan hak atas tanah yang disederhanakan menjadi 3 (tiga) hak, yaitu hak pakai, hak mengontrol dan hak mentransfer.

Berdasarkan data yang dirilis oleh Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), terjadi 2.047 kasus pada periode pemerintahan Presiden Joko Widodo 2015-2019, sedangkan semasa era SBY pada 2010-2014 terdapat 1.308 konflik. Kajian yang sama terkait konfik tenurial khususnya pada kawasan hutan juga disampaikan oleh Forest Watch Indonesia (FWI). Pada kurun waktu 2013-2016, FWI mencatat terdapat fenomena kehilangan hutan atau deforestasi seluas 1,8 juta hektare di delapan Provinsi.

Sebagai upaya untuk menjawab persoalan konflik tenurial, Presiden Jokowi bersama dengan Jusuf Kalla mengeluarkan kebijakan reforma agraria dan perhutanan sosial (RAPS) yang dinormatifkan melalui Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pebangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2015-2019. Peraturan tersebut merupakan titik berangkat program redistribusi tanah dan legalisasi aset (sertifikasi tanah) yang jamak dilakukan dan menjadi salah satu kebijakan populis pasca ia dilantik pada periode pertama kepemimpinanya.
Setahun menjelang Presiden Jokowi menjabat, sebetulnya telah ada instrumen untuk mereduksi terjadinya konflik tenurial yaitu Peraturan Bersama (Perber) 4 Menteri tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah di Dalam Kawasan Hutan. Peraturan tersebut disusun bersama oleh beberapa kementerian diantranya Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Kehutanan, dan Badan Pertahanan Nasional. Gagasan pada Perber 4 Menteri ini pun sebenarnya bukanlah gagasan yang benar-benar baru, melainkan merupakan artikulasi dari Nota Kesepahaman Bersama 12 Kementerian dan Lembaga (NKB 12 K/L) tentang percepatan pengukuhan kawasan hutan yang salah satu rencana aksinya adalah identifikasi dan pengakuan terhadap keberadaan hak-hak pihak ketiga yang ada di dalam kawasan hutan. Perber ini lahir dari keresahan bahwa dalam implementasinya, NKB belum memiliki ketentuan yang mengatur mengenai tata cara penyelesaian penguasaan atau hak-hak atas tanah yang berada dalam kawasan hutan, dan menjadi angin segar di bidang agraria dan SDA. Perber tersebut mengupayakan penyelesaian penguasaan tanah yang terdapat di dalam kawasan hutan melalui pelembagaan Inventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan, dan Pemanfaatan Tanah (IP4T). Kebijakan tersebut dipandang menyangkut kewenangan beberapa kementerian/lembaga negara, sehingga dinilai perlu ditetapkan peraturan bersama.

Namun, dalam praktiknya Perber a quo mengalami kendala dalam koordinasi, pasalnya kementerian terkait memiliki legitimasi tugas pokok dan fungsi (tupoksi) masing-masing, sehingga pola koordinasi dirasa tidak efektif. Munculnya kondisi tersebut, mendorong diterbitkannya Perpres No. 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan. Secara umum Perpres ini dibentuk dalam rangka menyelesaikan dan memberikan perlindungan hukum atas hak-hak masyarakat dalam kawasan hutan yang menguasai tanah di kawasan hutan sehingga perlu dilakukan kebijakan penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan. Setahun berselang, lahir Peraturan Menteri P.17 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pelepasan dan Perubahan Batas Kawasan Hutan untuk Sumber Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan ini merupakan peraturan yang lahir dalam rangka mengurangi ketimpangan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang mengakibatkan ketimpangan struktur ekonomi masyarakat.

Implementasi Regulasi
Dari sekian peraturan yang ada, nyatanya masih terdapat gap antara tataran normatif dan impementatif. Adanya Perber 4 menteri pada dasarnya telah mengarah pada konstruksi yang positif, akan tetapi dalam pelaksanaannya, aturan ini masih terbentur ego sektoral masing-masing kementerian terkait, alih-alih mengedepankan koordinasi dan kerjasama sebagaimana tertuang dalam peraturan a quo. Hal ini terjadi karena Presiden Joko Widodo memilih untuk melakukan reposisi kementerian dengan dileburkannya Lingkungan Hidup ke dalam Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan kewenangan tata ruang dari Kementerian Pekerjaan Umum yang ditarik ke dalam Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Secara organisasi peluang koordinasi dan kerjasama dalam penyelesaian tumpang tindih kawasan hutan seharusnya mejadi relatif lebih mudah karena beberapa lembaga diunifikasi, tetapi realitas yang terjadi tidak demikian. Ketiga kementerian yang terlibat dalam Perber (Kementerian LHK, Kementerian ATR/BPN dan Kementerian Dalam Negeri) masih tetap bekerja sendiri-sendiri.

Persoalan lain juga muncul dalam Perpres Nomor 88 Tahun 2017, yaitu dengan memilih bentuk penyelesaian PTKH melalui resettlement. Bentuk penyelesaian ini terbilang tidak realistis diterapkan dalam konteks masalah tenurial kawasan hutan, mengingat bahwa tanah adalah ruang hidup (lebensraum) yang di dalamnya terdapat relasi emosional, sosial, dan budaya dengan penghuninya, maka penyelesaian PTKH dengan bentuk resettlement merupakan penyederhanaan persolan secara sewenang-wenang. Tidak bisa dibayangkan bagaimana peliknya ketika masyarakat hukum adat harus dipindahkan keluar kawasan yang notabene merupakan wilayah ulayat dan teritori leluhurnya (ancestral territory).

Sementara norma dalam Permen LHK P.17 juga tidak memberikan tawaran resolusi konflik kawasan hutan melalui Tanah Objek Reforma Agraria (TORA), sebab perubahan kawasan hutan yang telah ditunjuk melalui perubahan batas (enclave), untuk tujuan mengakomodasi fenomena penguasaan tanah dalam kawasan hutan yang bentuknya adalah lahan garapan, permukiman dan fasilitas umum./sosial yang tidak dimungkinkan terjadi di kawasan hutan lindung maupun hutan produksi yang luas kawasan hutannya kurang dari 30 persen. Sehingga untuk wilayah-wilayah yang berada di Jawa, Lampung, dan Bali, yang kondisinya memiliki luas kawasan hutan kurang dari 30 persen hanya dapat dilakukan resolusi konflik dengan skema perhutanan sosial, dan itupun untuk konteks kawasan hutan sebagai lahan garapan. (RedG/*)

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *