Sastra Eksperimentasi pada Sastra Indonesia Periode 1971 – 1998

Penulis : Gita Indah Cahyani (Mahasiswi jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

 

Jakarta – Bentuk eksprementasi karya sastra di Indonesia berawal dari Puisi Mbeling. Mulanya adalah nama ruangan puisi di majalak aktuail Bandung di tahun 1972 sampai 1974. Lalu puisi yang dikirim dalam ruangan itu memiliki nama puisi mbeling juga. Mbeling menurut redaksi majalah aktuali adalah “Sikap nakal yang punya aturan” sedangkan tujuan dimunculkan puisi ini adalah untuk menggugah nilai-nilai yang kurang atau nilai seni kaum lama yang memakai teori-teori yang lama yang sudah tidak cocok dan sudah kaku.

Pelopor utama puisi Mbeling adalah Remi Silado yang memiliki nama asli Jopi Tamboyong yang adalah pengurus bagian puisi di dalam majalah Aktuil. Nama miliknya yang sebenarnya adalah Yapi Panda Abdiel Tambayong atau Japi 33 Redyanato Noor. Ia mempunyai beberapa nama samaran antara lain Alif Danya Munsyi, Dova Zila, Jubal anak perang imanuel, Julian C. Panda. Ia memulai karirnya sebagai wartawan majalah tempo, kemudian menjadi redaktur majalah Aktuil Bandung sejak tahun 1970 dan redaktur utama rubrik “Puisi Mbeling” di majalah tersebut dari tahun 1972 hingga 1975. Selain itu beliau juga menjadi dosen di Akademi Sinematografi Bandung sejak tahun 1971 dan ketua Teater Yayasan Pusat Kebudayaan Bandung. Ia sudah mulai menulis novel sejak umut 18 tahun, adapaun karya lainnya seperti puisi, cerpen, drama, kolom, esai, sajak, musikologi, dramaturgi, bahasa, dan teologi. Remy terkenal karena sikap beraninya menghadapi pandangan umum melalui pertunjukan-pertunjukan drama yang dipimpinnya.

Remy dikenal juga ahli dalam bidang bahasa. Dalam karyanya, beliau sering mengenalkan kata-kata Indonesia lama yang sudah jarang dipakai. Karena itu, karya sastranya menjadi unik dan istimewa dan juga memiliki kualitas yang tinggi. Remy juga sering mengunjungi Perpustakaan Nasional untuk mencari dan  riset yang tidak tanggung-tanggung untuk novelnya dengan membongkar arsip tua dan mencari buku tua. Di luar kegiatan penulisan kreatif, ia juga kerap diundang berceramah teologi. Remy Sylado mengajar di beberapa perguruan di Bandung dan Jakarta, seperti Akademi Sinematografi, Institut Teater dan Film, dan Sekolah Tinggi Teologi.

Karya-karya beliau antara lain adalah :

  • Karya Orexas (1978)
  • Gali Lobang Gila Lobang (1977)
  • Siau Ling (1999), Ca Bau Kan (1999)
  • Kerudung Merah Kirmizi (2002,
  • Kembang Jepun (2003)
  • Parijs van Java (2003)
  • Matahari Melbourne (2004)
  • Sam Po Kong (2004)
  • Rumahku di Atas Bukit (1999)
  • 9 dari 10 Kata Bahasa Indonesia adalah Asing (1999)

Selain menulis banyak novel, ia juga dikenal pandai melukis, bermain drama dan film. Saat ini ia bermukim di Bandung. Remy pernah dianugerahi hadiah Sastra Khatulistiwa 2002 untuk novelnya Kerudung Merah Kirmizi. Sedangkan pendukung puisi ini adalah generasi muda yang baru yang mencoba melakukan pemberontakan terhadap kemapanan baik kemapanan majalah Horison maupun kemapanan penyair-penyair senior.

Eksperimentasi dalam jenis karya sastra seperti cerpen terasa pada di tahun 1970an. Inilah waktu dimana gairah untuk melakukan “eksperimenasi” begitu antusias. Kehadiran majalah Horison memiliki peranan yang penting di era ini. Eksperimentasi para penulis yang banyak dipublikasikan lewat Horison itu mengarah pada tiga hal.

Pertama, pada upaya menemukan bentuk gaya (ber)-bahasa. Dimana gaya bahasa menjadi pusat penceritaan, hingga bahasa-lah yang kemudian membentuk setiap anasir cerita. Cerpen-cerpen “terror” Putu Wijaya, seperti Sepi atau Maya, memperlihatkan hal itu. Tapi hal ini juga sangat terasa pada cerpencerpen Wildam Yatim, yang tenang dan kaya detail. Atau bahkan pada cerpen Seribu Kunang-kunang di Manhattan Umar Kayam, dimana suasana dalam cerita ditentukan oleh (gaya) bahasa.

Kedua, upaya untuk menemukan bentuk-bentuk tekhnik penceritaan, menyangkut penokohan dan struktur/alur cerita, dimana efek-efek dramatik cerita kemudian banyak dihasilkan memalui tekhnik-tekhnik penceritaan itu. Kita bisa melihat tekhnik repetisi penceritaan pada cerpen Sukri Membawa Pisau Belati Hamsad Rangkuti atau pada cerpen “Garong” Taufik Ismail. Sementara cerpen “Krematorium Itu Untukku”, “Laki-laki Lain” juga “Tiga Laki-laki Terhormat” Budi Darma memperlihatkan tekhnik penokohan yang “alusif”: dimana tiap karakter seakan-akan mengacu pada karakter lainnya. Inilah tekhnik penceritaan dan penokohan yang kemudian banyak dikembangkan Budi Darma pada cerpencerpen yang ditulisnya selepas periode Orang-orang Blomington, seperti tampak pada “Gauhati”, “Derabat” atau “Mata yang Indah”.

Ketiga, pada upaya untuk mengeksplorasi bentuk-bentuk “tifografi penceritaan”, dimana elemen-lelem visual dari huruf, tanda baca sangat mempengaruhi struktur penulisan cerita, dan bagaimana cerita itu “ditampilkan secara visual”, hingga cerita bisa saja memakai elemen rupa sebagai baian strukturnya. Danrto banyak melakukan hal ini, seperti judul cerpennya yang memakai gambar panah menancap di lambang hati, atau seperti “cepen-rupa”-nya “nguung…nggung cak cak…” itu.

Itulah periode yang begitu semangat melakukan “ekperimentasi”. Dengan para eksponen seperti Danarto, Budi Darma, Putu Wijaya, sampai Hamid Jabbar,Yudhistira Adi Nugraha, Kurniawan Junaedi, Eddy D. Iskandar, Joko Sulistyo, Ristata Siradt, juga Arswendo Atmowiloto yang menggembangkan “cerpen-cepen dinding”-nya. Struktur dan bentuk-bentuk tifografi yang “aneh”, seperti dimungkinkan hadir karena ruang “eksperimentasi” diberikan oleh media yang menyertai pertumbuhannya.(RedG)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *