oleh

Rekonstruksi Pendekatan Manusia Papua, Suatu Keniscayaan di Era Globalisasi

Oleh: Ambassador Freddy Numberi

(Sesepuh Masyarakat Papua)

Mikhail Gorbachev berkata : “Peace is not unity in similarity but unity in diversity in the comparison and conciliation of differences and ideally, peace means the absence of violence“ (Freddy Numberi, QUO VADIS PAPUA, 2013: hal. 186)

  1. Hak Asasi Pembangunan

Peristiwa dan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Papua berakar pada upaya rakyat papua (Provinsi Papua dan Provinsi Papua barat) untuk menuntut keadilan setelah adanya reformasi 1998. Keadilan ekonomi, politik, sosial dan budaya yang menjadi hak dasar manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa secara universal termasuk Orang Asli Papua (OAP) sebagai bagian integral dari bangsa indonesia.

Deklarasi PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) tentang Hak Asasi Pembangunan (UNGA Resolution 41/128, 4 Desember 1986) mendefinisikan pembangunan sebagai:

“Proses ekonomi, sosial, kultural dan politik yang menyeluruh, yang bertujuan untuk  memperbaiki secara konsisten kemaslahatan segenap warga dan semua orang, lewat peran serta yang aktif, bebas, dan penuh makna didalam pembangunan dan dalam distribusi yang adil atas hasilnya“ (Mukadimah).

Ditegaskan pula bahwa pembangunan seperti itu adalah hak (entitlement),

dimana setiap orang dan semua bangsa (peoples) adalah pemangku hak (right holder) dari negara, baik masing-masing maupun bersama, merupakan pengemban tanggung  jawab (duty bearer) dari negaranya.

  1. Gagasan Keamanan Manusia

Laporan yang berorientasi Keamanan Manusia dikeluarkan oleh United Nations Development Program (UNDP) yang disebut UNDP’s Human Development Report tahun 1994 yang berjudul Dimensions of Human Security. Laporan ini memuat 7 (tujuh) kategori ancaman yang terkait dengan keamanan manusia, yaitu:

(1) ekonomi; (2) makanan; (3) kesehatan; (4) lingkungan; (5) personal;

(6) komunitas; dan (7) politik.

Laporan tersebut mengimplikasikan bukan pada batas wilayah, tetapi fokus pada kehidupan penduduk di seluruh dunia.

Dengan demikian kajian-kajian keamanan kontemporer berkaitan dengan isu human security (keamanan manusia) negara-negara anggota PBB termasuk Indonesia menempatkan keamanan manusia sebagai prioritas utama dalam pembangunannya yang perlu mendapat perhatian lebih serius pasca tragedi

11 September 2011 di Amerika Serikat.

  1. Gagasan bahwa ancaman non militer dalam keamanan global dewasa ini menjadi paramount dengan latar belakang sebagai berikut :
  • Peningkatan konflik sipil bersenjata dalam suatu negara ;
  • Tumbuh dan berkembangnya tuntutan demokrasi ;
  • Intervensi kemanusiaan oleh PBB ;
  • Meluasnya kemiskinan dan pengganguran akibat krisis ekonomi sejak tahun 1990-an.

Mahbub ul Haq dalam bukunya “The Crisis of Governance“ (Oxford University press, 2000) mengatakan :

“ We need to fashion an new concept of human security that is reflected in the lives of our people, not in the weapons of our country “

(Kita perlu menciptakan konsep baru keamanan manusia yang tercermin dalam kehidupan rakyat kita, bukan pada senjata negara kita)

Pernyataan diatas bila diterapkan di Indonesia, menurut hemat penulis dapat dikatakan sebagai berikut :

Baca Juga  Dikotomisasi Peraturan dan Moralitas Berkendara

“Kita perlu menciptakan Konstruksi Baru (Rekonstruksi) Pendekatan Keamanan Manusia yang tercermin dalam kehidupan rakyat Indonesia, khususnya di Papua, dan bukan pada senjata kita.“

Isu keamanan manusia sangat penting dalam kajian-kajian kontemporer secara berlanjut di masa mendatang karena masalah keamanan manusia lebih banyak muncul akibat konflik-konflik yang terjadi dewasa ini. Terutama di negara-negara berkembang termasuk Indonesia.

  1. Tragedi Zanambani.

Peristiwa  terbunuhnya Pendeta Yeremia Zanambani pada tanggal 19 September 2020 cukup menyedihkan bagi kita semua maupun masyarakat Hitadipa.

Karena Pendeta Zanambani adalah kepala Sekolah Theologia Atas (STA) di Hitadipa (Kabupaten Intan Jaya) dan juga gembala Jemaat Immanuel pada Gereja setempat berasal dari Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII).

Berdasarkan hasil investigasi Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) sesuai perintah Menkopolhukam dan hasilnya dirilis oleh Kemenkopolhukam pada tanggal 21 Oktober 2020 dinyatakan adanya dugaan keterlibatan “oknum aparat keamanan.“   Frasa ini membuat TNI tersandera “pelanggaran HAM.”

Komnas HAM dalam temuannya juga mengungkapkan hal yang sama. Komisioner Komnas HAM Choirul Anam dalam penjelasannya kepada pers, bahwa luka tembakan pada tubuh korban diduga dilepaskan dari jarak kurang dari 1 (satu) meter. Terduga pelaku merupakan oknum anggota TNI (Kompas.com, 03/11/2020). Penjelasan ini juga membuat TNI tersandera “pelanggaran HAM”.

Daoed Joesoef (Studi Strategi, 2014 : hal 134) menyatakan :

“Perang yang keliru, pada tempat yang keliru,dalam waktu yang keliru, melawan musuh yang keliru dan diinisiasi dengan alasan yang keliru. “

(terjemahan bebas oleh penulis).

Selanjutnya Daoed Joesoef juga menegaskan :

“Kok menyelesaikan ketidakpuasan rakyat atas kepincangan pembangunan dan ketidakpuasan politik dengan kekuatan senjata.

Memang pemberontakan dapat ditumpas dan luka-luka akibat perang yang serba keliru itu dapat sembuh, namun bekas luka-luka tidak (akan) pernah hilang, diceritakan dari orangtua ke anak, dari anak ke cucu, dari cucu ke cicit, turun temurun“.

Hal itu juga menjadi ingatan penderitaan (memoria passionis) bagi masyarakat Hitadipa (Kabupaten Intan Jaya), karena kehilangan Pendeta Yeremiah Zanambani yang notabene adalah Kepala Sekolah Theologia Atas (STA) di Distrik Hitadipa dan gembala jemaat pada gereja setempat.

  1. Penutup

Masalah pelanggaran HAM di Indonesia, khususnya di Papua sangat memprihatinkan kita, mengingat bukan hanya Pendeta Yeremia Zanambani saja, tetapi siklus ini sudah berlangsung lama dan selalu berulang.

Baca Juga  Disambut Haru, 10 Anggota TNI Dari Bangka Belitung Kembali Dari Bumi Papua

Dunia internasional baik Amerika Serikat, Uni Eropa, Pasifik Selatan, Inggris dan PBB (UNHCR), selalu menyoroti masalah pelanggaran HAM di Papua.  Koran Rakyat Merdeka merilis berita tanggal 30 Mei 2012 bahwa, pelanggaran HAM di Papua disoroti 14 Negara maju di Jenewa Swiss, pada tanggal 23 Mei 2013.

Hal ini berarti setiap pelanggaran HAM di Papua pasti terecord dengan baik dan setiap kali ada Universal Periodic Review Dewan Hak Asasi Manusia PBB, pasti ada negara maju mempertanyakan lagi masalah pelanggaran HAM di Papua yang di update tentunya.

Kita bersyukur bahwa Presiden Jokowi memiliki komitmen yang kuat untuk mentuntaskan hal ini, terefleksi dari penegasan Presiden Jokowi bahwa tragedi Wamena berdarah (6 Oktober 2000) korban 47 orang, Wasior berdarah (13 Juni 2001) korban 117 orang dan Paniai berdarah (8 Desember 2014) korban 18 orang agar di proses lebih lanjut karena masuk dalam kategori pelanggaran HAM berat.

Eskalasi konflik kekerasan di Tanah Papua akan terus di reproduksi, karena wilayah tersebut menyimpan bara permasalahan yang lalu dan belum terpecahkan secara tuntas.

Ketua Komisi HAM PBB Michelle Bachelet (mantan Presiden Chile) setelah terus menerus mengawasi dan mengikuti kekerasan di Papua, mengatakan:

“Saya terganggu dengan kekerasan di Papua.” (Media Statement, UN High Commissioner for Human Rights/UNHCR, 4 September 2019).

Ekses dari setiap operasi militer di masa damai atau perang pasti ada kerusakan ikutan atau tambahan dan itu terjadi pada diri Pendeta Yeremia Zanambani.

Bila militer yang terlibat pasti itu pelanggaran HAM, apa lagi di masa damai.

Harapan Orang Asli Papua (OAP) pada Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin agar dapat Merekonstruksi Pendekatan Keamanan Manusia di Papua (Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat) sesuai dengan apa yang telah diamanatkan oleh deklarasi PBB melalui United Nations General Assembly (UNGA) 41/128, tanggal 4 Desember 1986. Indonesia sebagai negara anggota PBB tentunya mempunyai kewajiban moral untuk melaksanakan Pendekatan Keamanan Manusia (Human Security) di Papua dalam rangka menghindari tuduhan pelanggaran HAM di Papua.

Saran penulis adalah mengedepankan POLRI dalam rangka keamanan dan ketertiban masyarakat (KAMTIBMAS) dan dibantu/diback up TNI bila persyaratan sebagai “dissident armed forced” bagi para perusuh telah terpenuhi.

 Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Ma’ruf memiliki komitmen yang kuat dan pasti dapat mengubah Memoria Passionis (ingatan penderitaan) menjadi Memoria Felicitas (ingatan Kebahagiaan) di Papua demi Indonesia.

Jakarta, 31 Maret 2021

 

Komentar

Tinggalkan Komentar