Penulis : Shofi Nur Hidayah (Mahasiswa KPI UIN K.H Abdurrahman Wahid Pekalongan)
Pekalongan – Perempuan dianggap sebagai representasi dari sebuah keindahan, tidak jarang perempuan juga dianggap sebagai bentuk dari kelembutan dan juga kasih sayang. Di era sekarang perempuan tidak hanya memegang urusan domestik perkara pekerjaan rumah, melainkan punya hak-hak yang sama seperti seorang laki-laki. Keberadaan perempuan sudah mulai merambah ke berbagai bidang seperti politik, kesehatan bahkan ekonomi. Mereka berkarir layaknya para laki-laki, kini bias gender dianggap sudah tidak ada lagi. Akan teteapi dalam ranah komersil khususnya, perempuan lebih sering dijadikan objek ketimbang subjek.
Di dalam peran dunia eksibisonist tradisional laki-laki, perempuan secara bersamaan ditampilkan untuk dilihat sekaligus dipajang. Dengan penampilan visualnya dan dampak erotisnya yang kuat maka perempuan dikonotasikan sebagai sesuatu “untuk dipandang†dan memenuhi rasa ingin tahu laki-laki (Muvey, dalam Durham dan Keliner 2006: 346).
Penempatan perempuan sebagai salah satu yang bisa ditangkap oleh mata, dan kemudian dijadikan sebagai objek. Dalam iklan saja yang erat kaitannya dengan dunia komersil, iklan lebih banyak menggunakan model perempuan ketimbang laki-laki. Ini bisa saja terjadi karena pengaruh konsep awal sebuah iklan adalah sesuatu yang menarik dan itu didapatkan dari seorang perempuan yang memang dianggap sebagai representasi dari sebuah keindahan. Sehingga menggunakan model perempuan dianggap bisa menarik konsumen. Seiring berkembangnya kapitalisme, komoditas adalah sebuah kunci yang terus dikembangkan dan digunakan.
Dalam dunia komersil sendiri tubuh perempuan dianggap sebagai sesuatu yang dapat diperjual belikan. Dengan alasan segmentasi pasar bahkan peluang maka tubuh perempuan dieksploitasi sedemikian rupa. Imbalannya berupa kenaikkan ratting, laba perusahaan dan sebagainya. Hal ini tidak bisa lepas dari peranan media massa yang secara masif mememberikan pengaruh kepada masyarakat. Identitas perempuan dan laki-laki juga dibedakan melalui media massa, laki-laki berperan sebagai subjek sedangkan perempuan dijadikan sebagai objek utamanya objek fantasi laki-laki.
Perempuan dalam ranah komersil lebih sering diharuskan mempertontonkan bagian tubuhnya agar laki-laki mendapatkan kepuasan. Dengan kata lain kapitalisme telah mengembangkan komoditas tubuh perempuan sebagai spectacle atau tontonan. Hal ini dapat dilihat dari berbagai film, iklan, gambar, suara, dan jenis-jenis bentuk visual atau auditori lainnya yang semua ini merupakan bagian dari ranah komersil dan disiarkan dalam media massa.
Hal yang sangat jelas menunjukkan perempuan adalah objek bagi industri adalah pada iklan mobil-mobil mewah. Mobil mewah sendiri dianggap sebagai salah satu bentuk maskulinitas, salah satu produk dengan target pasar adalah laki-laki. Namun dalam iklan komersial mobil-mobil tersebut justru mempertontonkan perempuan dengan pakaian seksi yang berlenggak-lenggok lengkap dengan pose yang vulgar. Perempuan seringkali divisualisasikan memakai pakaian seksi dan mendekati laki-laki yang berada disekitar mobil mewah tersebut. Menggambarkan bahwa perempuan adalah sebuah objek yang dapat dibeli atau dibuat mendekat dengan cara menunjukkan maskulinitas laki-laki contohnya dengan mobil mewah. Laki-laki seolah mempunyai kekuatan yang dapat membuat perempuan “tunduk†dihadapannya, itu menunjukkan bahwa laki-laki masih berada diposisi subjek sedangkan perempuan adalah objeknya.
Tidak hanya itu saja, dalam industri para SPG kendaraan bermotor khususnya mobil seringkali adalah perempuan yang mengenakan rok mini atau pakaian ketat lainnya. Mereka dituntut untuk menyebarkan brosur atau mempromosikan apa yang mereka jual tapi juga harus merelakan tubuh mereka dijadikan alat oleh dunia industri itu sendiri untuk sekali lagi menarik pembeli.
Banyaknya penggambaran dari media massa yang telah banyak mempengaruhi masyarakat. Â Kultur di masyarakat yang kemudian sampai ke media massa seiring dengan berkembangnya zaman dan juga segala alur konten yang ada didalamnya begitu juga sebaliknya. Meskipun penggambaran yang ada dimedia massa belum tentu benar dan tidak dapat digeneralisasikan, namun tidak dapat dipungkiri media telah memberikan pengaruh yang cukup besar. Selain memberikan pengaruh media massa juga menjadi sumber penggarapan besar dalam pembentukan persepsi atau pandangan masyarakat mengenai perempuan.
Sayangnya perempuan banyak yang tidak sadar akan hal itu, bahkan menganggap semua itu adalah hal yang wajar. Masifnya informasi serta terpaan media yang begitu kuat telah merubah cara pandang perempuan akan hal itu. Mereka seringkali tidak sadar bahwa eksploitasi tubuh perempuan terjadi dalam ranah komersil, hal ini ditunjukan dengan kesadaran para perempuan mengenakan pakaian seksi dengan dalih sebagai bentuk ekspresi kecantikan perempuan. Berbagai mode telah dirancang sedemikian rupa agar memperlihatkan bentuk tubuh perempuan lebih terekspos.
Terpaan media yang mempengaruhi persepsi terhadap perempuan dan membentuk stereotip perempuan. Bahwa perempuan dianggap sama rata seperti apa yang ditampilkan melalui gambar, film, iklan atau auditori yang diproduksi oleh pihak komersil serta apa yang digambarkan dalam media massa. Image atau identitas perempuan yang ditampilkan melalui hal-hal tersebut adalah hasil pengkondisian komersil sebagai cara pandang laki-laki dan ideologi patriaki dari para kaum-kaum kapitalisme. Perempuan dalam ranah komersil akan lebih dijadikan sebagai penanda yang membawa makna bukan menciptakan makna karena perempuan dianggap sebagai silent image atau sebuah objek dan bukan lagi subjek.(RedG)