oleh

Pentingnya Kebijakan Energi Terbarukan

 

Oleh : Ahmad Aziz Putra Pratama – (Owner & Founder Monster Laut Indonesia dan Karya Pratama)

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020-2024, pemerintah menyatakan salah satu tantangan untuk memenuhi kebutuhan energi nasional adalah terus menurunnya cadangan energi non-terbarukan.

Saat ini, menurut data Bappenas, hanya 75% dari permintaan energi nasional yang dapat dipenuhi dari pasokan energi domestik, sisanya dilakukan melalui impor. Proyeksi dalam RPJMN menyebutkan angka itu akan terus menurun hingga 28% pada 2045 seiring penurunan pasokan energi domestik, di sisi lain kebutuhan energi terus meningkat.
Kondisi itu dapat memperparah current account deficit (CAD) karena impor energi terus meningkat. Oleh karena itu, pemerintah menetapkan target untuk meningkatkan peran energi baru dan terbarukan (EBT) sebesar 19,5% dalam bauran energi nasional pada tahun 2024. Namun, untuk mencapai target ini menjadi tantangan bagi pemerintah karena tren selama ini target bauran energi EBT cenderung tak pernah tercapai.
Secara historis, menurut data neraca energi Indonesia yang diterbitkan Kementerian ESDM, peran EBT – Energi Baru Terbarukan (di luar bio-massa) relatif kecil dan tidak banyak berubah. Pada tahun 2018, peran EBT baru 8,2% dari total suplai energi primer domestik. Angka tersebut jauh di bawah proporsi energi non-terbarukan yakni batubara, gas alam dan BBM yang masing-masing sebesar 31,5%, 18,8% dan 37,1%. Hal ini menunjukkan bahwa ketergantungan Indonesia terhadap energi fosil masih cukup besar. Selain itu, jumlah penggunaan EBT tak banyak berubah pada 2014-2018. Jumlah konsumsi EBT mencapai titik tertinggi pada 2014 sebesar 143,2 juta setara barel minyak. Lalu penggunaan EBT turun signifikan pada 2015 menjadi hanya 70,6 juta setara barel minyak dan perlahan kembali meningkat ke 125,4 juta setara barel minyak pada 2018.

Baca Juga  Akankah  Pemalang saat ini Berada dalam Pusaran "Peristiwa Tiga Daerah"

Penyebab dari lambannya pencapaian target EBT selama ini adalah pencapaian target dipengaruhi pergerakan harga komoditas energi lain terutama batubara dan minyak.
Sebagai contoh, pada 2015 terjadi penurunan signifikan konsumsi energi total seiring melemahnya pertumbuhan ekonomi nasional karena penurunan harga komoditas. Penurunan terdalam terjadi pada konsumsi EBT sebesar 50,7%, lebih tinggi dibandingkan penurunan konsumsi energi nasional yang hanya 16,8% pada periode tersebut.
Rasio konsumsi EBT turun dari 8,1% menjadi 4,8%. Penyebab utama menurunnya peran EBT adalah jatuhnya harga minyak dunia pada saat itu sehingga penggunaan biofuel menjadi lebih mahal dibandingkan BBM. Akibatnya, konsumsi biofuel turun signifikan di periode itu.

Begitu pula penggunaan EBT di sektor kelistrikan. Bauran pembangkit EBT dalam total proporsi pembangkit Indonesia tak banyak mengalami perubahan di periode 2014-2018.
Bauran EBT pada 2014 sebesar 11,6% dan 2018 sedikit menurun menjadi 11,4%. Kebijakan pemerintah saat ini cenderung untuk memfavoritkan penggunaan batubara dibandingkan EBT. Hal ini ditunjukkan oleh kebijakan harga pembelian EBT dari Independent Power Producer (IPP) harus berkontribusi terhadap penurunan biaya produksi PLN yang didominasi batubara.

Dengan harga batubara yang rendah saat ini, insentif untuk membangun pembangkit berbasis EBT akan semakin rendah atau bahkan tidak ada sama sekali karena dipaksa bersaing dengan harga batubara yang rendah.

Ke depan, kebijakan pemerintah terhadap energi seharusnya lebih bersifat jangka panjang dan tidak terpengaruh fluktuasi harga energi non-terbarukan dalam jangka pendek.

Manfaat jangka panjang EBT harus dipertimbangkan seperti keberlanjutan ketersediaan energi dalam jangka panjang dan rendahnya emisi karbon yang akan dihasilkan. Oleh karena itu, investasi EBT saat ini selayaknya diberikan insentif agar dapat bersaing dengan investasi dari energi non-terbarukan pada level harga saat ini.

Baca Juga  Wajah Nusantara, Wajah Ganjar Pranowo

Lagipula, tren biaya EBT di negara maju terus menurun dan bahkan ada yang lebih rendah dibandingkan energi fosil. Alangkah baiknya jika Indonesia mampu mengambil langkah seperti negara maju dalam meningkatkan peran EBT seperti memberikan insentif harga pembelian EBT yang lebih tinggi dibandingkan energi non-terbarukan dan insentif investasi seperti pengu- rangan pajak.

Dengan demikian, di masa depan Indonesia sudah lebih dulu memakai energi murah berbasis EBT dibandingkan negara berkembang lain. (RedG)

Komentar

Tinggalkan Komentar