Penulis : Ajie Dzulvian Akbar mahasiswa aktif jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta – Bisa dikatakan, Pram adalah salah satu penulis yang bukan bersikap a-politis. Dan itu disandingkan dengan nama-nama lain seperti Chairil Anwar, Achdiat K. Mihardja, Mochtar Lubis dan lain-lain, adalah orang-orang yang mempunya pandangan dan kesadaran politik lebih. Mereka bukanlah orang-orang-orang yang tidak berwawasan politik dan bukan pula orang yang tidak mengikuti perkembangan politik. Bahkan dari merekapun banyak juga yang aktif dalam politik praktis (Ajip Rosidi, 1969: 179). Dalam kata lain, sebab pengetahuan Pram inilah ia ingin membaginya kepada masyarakat luas bahwa begitulah realita penguasa pasca kemerdekaan, mereka sibuk mementingkan dirinya sendiri.
Pram sendiri adalah pengarang yang dilahirkan di Blora, pada tanggal 2 Februari 1925, iya sudah mulai mengarang sejak jaman jepang. Pada masa awal revolusi, Pram telah menerbitkan buku dengan judul Krandji Dan Bekasi Djatuh (1947), namun namanya baru menarik perhatian dunia sastra Indonesia pada tahun 1949 dengan karya cerpennya berjudul Blora (1949) yang ia tulis ketika dalam penjara. (Ajip Rosidi: 1969).
Penjara? Iya, Hampir separuh hidupnya Pram dihabiskan dalam penjara. Namun penjara bukanlah pembatas atas kreativitas serta cintanya terhadap menulis.
Pram adalah seorang yang sangat produktif menulis, baik berupa cerpen, roman, esai, maupun kritik. Buku-buku tak henti-henti mengalir daripadanya, seperti Cerita dari Blora (1952) Sekumpulan cerpen yang berpusat di Blora, Ditepi Kali Bekasi (1950) sebuah roman yang melukiskan perjuangan para pemuda Indonesia sekitar Krawang dan Bekasi, Bukan Pasar Malam (1951), Gulat di Jakarta (1953), Korupsi (1954), Midah si Manis Bergigi Emas (1954), Cerita dari Jakarta (1957) dan lain-lain (Ajip Rosidi, 1969: 111). Karya-karya itu lahir ketika Pram sedang mengalami masa-masa di dalam penjara.
Seperti yang tertulis di halaman awal pada Roman Bukan Pasar Malam, Pram tercatat pernah ditahan selama 3 tahun dalam penjara Kolonial, 1 tahun di Orde Lama, dan 14 tahun yang melelahkan di Orde Baru (13 Oktober 1965-Juli 1969, Pulau Nusa-kambangan Juli 1969-16 Agustus 1969, Pulau Buru Agustus 1969- 12 November 1979, Magelang/Banyumanik November-Desember 1979) tanpa proses pengadilan (Lentera Dipantara, 2009: 1). Tentu tidak lain tidak bukan karena tuduhan yang menimpanya, bahwa ia adalah PKI, sebab ia merupakan bagian dari Lekra. Namun pada tanggal 21 Desember 1979 Pram dinyatakan bebas dan tidak bersalah atas keterlibatannya dalam G30S PKI tetapi ia masih dikenakan sebagai tahanan rumah.
Gagasan diatas sejatinya menyimpang dengan isi dari buku Ajip Rosidi. Ajip menjelaskan bahwa Pram memang awalnya mengutuk PKI pada masa kurun waktu kurang dari 1950an. Aspirasi Pram dituliskannya dalam buku Cerita Dari Blora, Pram melukiskan sebuah keluarga yang menjadi korban pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948. Tetap pada tahun 1950an pandangan Pram terhadap PKI berubah. Ia mulai masuk lingkungan Lekra, dan pada tahun 1960an menjadi anggota pimpinan lekra, yaitu menjadi ketua Lembaga Seni Sastra atau dikenal dengan Lentera. Melalui surat kabar Bintang Minggu, mereka tak habis-habis menyeranga para pengarang yang tidak sependirian dengan mereka (Ajip Rosidi, 1969: 112). Hal ini terkait dengan perbedaan prinsip Seni untuk Seni dan Seni untuk Rakyat. Lekra menganut paham Seni untuk Rakyat.
Terlepas perihal sastra dan politik, Pram tetaplah Pram. Ia tetap penulis yang pemberani, biar dirinya diasingkan dan dijebloskan dalam bui, namun keterampilannya dalam mengarang tetap tumbuh dan hidup.
Karena pada dasarnya karya sastra merupakan penyampaian “pemahaman†tentang kehidupan dengan caranya sendiri. Menurut Daiches (1974) mengacu pada Aristoteles, sastra sebagai suatu karya yang menyampaikan jenis pengetahuan yang tidak bisa disampaikan dengan cara yang lain. Yakni suatu cara yang memberikan kenikmatan yang unik dan pengetahuan yang memperkaya wawasan pembacanya (Melani Budianta, dkk, 2003: 7). Pada perkembangannya, kebanyakan karya sastra lahir berdasarkan gambaran pemahaman dari penulis atas realita kehidupan yang dituangkannya dalam bentuk karangan yang seolah itu adalah rekayasa.
Namun seperti kita sadari, banyak karya-karya sastra itu lahir dan mengandung pesan tersirat dalam tersurat, oleh karenanya banyak orang yang mengkaji tentang karya sastra. Karya sastra juga dapat dijadikan bahan informasi bagi kehidupan masyarakat. Atau dalam kata lain karya sastra ini dapat memberikan gambaran rekam jejak atas yang terjadi pada masa itu.
Seperti Roman Bukan Pasar Malam, Roman yang lahir di tangan penerbit Balai Pustaka: Jakarta pada tahun 1951. Karya Pramoedya Ananta Toer. Dalam penyampaiannya, Pram menggambarkan realita kehidupan penguasa setelah pasca kemerdekaan tercipta, setelah masa penjajahan berakhir. Bahwasanya mereka berlomba-lomba untuk berebut tahta atau singgah sana untuk memperkaya dirinya sendiri. (RedG)