Penulis : Drs. Santoso, MM, M.Si. (Mantan Sekda Kabupaten Pemalang)
Pemalang – ‘Mikul dhuwur, Mendhem jero‘ merupakan salah satu pepatah Jawa yang sarat akan makna. Dalam terjemahan bebas dapat diartikan, mengangkat tinggi dan mengubur dalam. Lantas apa makna di balik pepatah tersebut? Bagi orang Jawa, pepatah ‘mikul dhuwur, mendhem jero‘ ini punya maksud sebagai anak (generasi muda) , kita diwajibkan mengangkat tinggi derajat orang tua (pendahulu/sesepuh), serta menutup rapat-rapat aib keluarga atau pendahulu kita.
Tentunya dalam kehidupan bermasyarakat dan atau bernegara, kita hendaknya menghormati apa yang pernah digariskan dalam pembangunan atau dalam kebijakan yang membawa kemaslahatan rakyat, tentunya kita juga tidak perlu mencaci maki aib para pendahulu kita.
Sayangnya, para Pemimpin atau lebih tepatnya para penguasa sekarang ada kecenderungan untuk menghilangkan nilai historis dengan cara menghilangkan karya-karya pendahulunya. Dapat kita ambil contoh, masa kepemimpinan sebelumnya era Junaedi, masjid Agung Nurul Khalam yang sudah bagus kok dihancurkan. Lantas dibangun dengan gaya arsitektur modern yang tidak menunjukkan ciri karakteristik masyarakat Pemalang serta kurang cocok untuk bangunan sebuah masjid. Masjid Agung Nurul Kkalam yang lama mempunyai konstruksi yang masih kuat serta memiliki sejarah panjang dalam syiar agama Islam di Kabupaten Pemalang. Gaya arsitekturnya juga mencerminkan dan sesuai untuk sebuah bangunan masjid.
Menurut saya, Pembangunan Masjid Agung Nurul Khalam Kabupaten Pemalang sebenarnya belum prioritas. Akhirnya terkesan seperti dipaksakan. Apakah ini merupakan upaya menghilangkan karya pendahulunya?
Demikian pula dengan kebijakan yang diambil oleh Bupati Pemalang Mukti Agung Wibowo, dengan adanya penggantian tulisan “Pemalang Ikhlas” di gapura batas kota Pemalang dengan tulisan “Pemalang Aman” , juga terkesan hanya sekedar ingin menghilangkan nilai historis karya para pendahulunya.
Bagaimanapun, dalam setiap kesempatan saya selalu sampaikan atas pesan-pesan sesepuh maupun leluhur kita kepada teman-teman, sahabat, maupun masyarakat untuk menjadi pemimpin yang pandai menjaga rasa dan pandai “mikul duwur mendem jero” serta jangan pernah “adigang, adigung, adiguna“.
Ambil Langkah Bijaksana
Kalau alasan pemerintah daerah dalam hal ini bupati Pemalang bahwa penggantian tulisan “Ikhlas” di gapura batas kota Pemalang itu untuk mensosialisasikan program “aman” , mestinya tidak harus degan cara menggantikan tulisan “Ikhlas” di gapura batas kota Pemalang dengan tulisan “aman”.
Saya percaya, para pejabat pemkab Pemalang sudah tahu bahwa “Pemalang Ikhlas” ini sudah menjadi “trademark” nya Pemalang. Saya juga yakin kepada teman-teman saya di Pemkab Pemalang juga tahu bagaimana cara lain untuk melakukan sosialisasi yang lebih efektif. Misal lewat medsos, radio, maupun tatap muka pada pertemuan-pertemuan
dengan masyarakat.
Sedikit saran dari saya, salah satu warga masyarakat Pemalang yang pernah duduk dalam birokrasi di Kabupaten Pemalang agar polemik tentang tulisan di gapura tersebut tidak berkepanjangan, sebaiknya Bupati segera mengambil langkah bijaksana dengan segera nyambung rasa/silaturahmi secara informal maupun formal dengan stakeholder terkait, dan dengan lapang dada menyampaikan statemen : “Setelah memperhatikan dan mendengarkan saran pendapat dari berbagai pihak maka untuk menjaga Pemalang yang “aman” dan damai, maka dengan rasa tulus dan “Ikhlas”, tulisan di gapura batas kota Pemalang akan segera kami kembalikan seperti sedia kala.” (RedG)