Generasi milenial dan generasi Z diperkirakan akan mendominasi suara pada pemilihan umum (pemilu) 2024 mendatang. Dalam unggahan foto di akun Instagram resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU), yakni @kpu_ri, pada Rabu (17/5), tergambar sangat jelas bahwa Pemilu 2024 akan dikuasai pemilih berusia muda. Dari total 205 juta pemilih dalam daftar pemilih sementara, generasi milenial mendapat hak suara tertinggi dengan 69 juta pemilih. Lalu, generasi Z menyumbang sekitar 47 juta pemilih.
Jika keduanya digabung dalam kelompok pemilih berusia muda, jumlahnya kurang lebih 116 juta pemilih. Itu sudah melebihi separuh dari jumlah total pemilih. Belum lagi bila ditambah dengan sebagian pemilih dari generasi X yang masih bisa dimasukkan kategori muda. KPU memperkirakan 60% dari seluruh pemilih pada Pemilu 2024 ialah generasi muda.
Senada dengan KPU, Center for Strategic and International Studies (CSIS) memprediksi partisipasi pemilih pada pemilu tahun 2024 akan diwarnai oleh generasi milenial yang berada pada rentang usia 17 hingga 39 tahun. Berdasarkan hasil survei CSIS, jumlah kedua generasi ini mendekati angka 60% dari total pemilih.
Tak hanya itu, secara umum data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mencatat jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2024 diperkirakan mencapai 318,9 juta jiwa. Dari jumlah itu sebanyak 21,73 juta penduduk berusia 15 hingga 19 tahun, lalu sebanyak 21,94 juta penduduk berusia 20 hingga 24 tahun, kemudian penduduk berusia 25-29 tahun sebanyak 21,73 juta orang dan penduduk berusia 30 hingga 34 tahun sebanyak 21,46 juta orang, lalu sebanyak 21,4 juta penduduk berada di rentang usia 35 sampai 39 tahun.
Mengacu dari data dan fakta tersebut, kaum milenial merupakan kantong suara potensial pada kontestasi politik 2024 mendatang. Potensi suara milenial ini tentunya tak ingin disia-siakan oleh partai politik. Berbagai cara dilakukan untuk mendekati pemilih milenial termasuk melalui platform media sosial. Untuk meraup suara milenial partai politik tak ragu memasang wajah-wajah muda di garda depan untuk merebut suara.
Jika menengok penetrasi kaum muda di media sosial, sekurangnya ada dua hal yang menyebabkan potensi kalangan milenial untuk datang ke TPS diprediksi akan lebih besar dibandingkan pemilu sebelumnya. Pertama, ada trend bahwa anak-anak muda sekarang mulai aktif keterlibatannya untuk mengikuti aktivitas-aktivitas politik atau berita-berita politik. Kedua, kesadaran generasi muda terhadap isu sosial politik untuk dijadikan referensi dalam menentukan pilihan politiknya kini mulai meningkat.
Hal ini diperjelas dengan hasil riset CSIS yang menunjukkan 4,4% anak muda dari total pemilih milenial menganggap masalah kesejahteraan masyarakat masih menjadi isu utama dalam pemilu 2024 selanjutnya 21,3% anak muda menganggap isu lapangan pekerjaan sebagai isu utama dan sebanyak 15,9% menganggap masalah pemberantasan korupsi menjadi sorotan utama lalu sebanyak 8,8% anak muda menganggap masalah demokrasi dan kebebasan sipil menjadi isu strategis di pemilu 2024.
*Regenerasi Politik*
Sudah menjadi rahasia umum bahwa demokratisasi di internal partai politik (parpol) saat ini belum sepenuhnya berjalan –jika tidak disebut sama sekali. Parpol terkesan menjadi milik satu kelompok bahkan satu keluarga, bahkan partai politik terjebak dalam lingkaran oligarki. Kuasa oligarki di partai politik sangat berpengaruh seperti proses pengambilan kebijakan hingga rekrutmen calon anggota legislatif, kepala daerah hingga presiden. Hal ini menunjukkan bahwa partai politik belum menjadi institusi publik yang transparan dan akuntabel terhadap konstituennya.
Padahal, di era digital seperti sekarang ini, parpol mestinya mampu membangun citra sebagai lembaga publik yang modern dan terbuka. Terlebih lagi di mata pemilih pemula yang kebanyakan anak muda adalah generasi yang melek teknologi. Mereka memiliki kebiasaan menggunakan media sosial dalam kehidupan sehari-hari, termasuk mencari informasi.
Jumlah pemilih muda yang termasuk ke dalam pemilih pemula, merupakan market politik yang fantastis sehingga perlu digarap dengan serius oleh peserta pemilu. Banyak cara ampuh yang bisa dilakukan oleh para pemangku kepentingan untuk menarik suara pemilih ini, di antaranya yakni melalui media sosial.
Arena kampanye di media sosial menuntut peserta pemilu untuk beradaptasi dengan cepat dengan tetap memahami karakter pemilih muda agar tidak salah dalam membuat konten maupun interaksi dengan pemilih muda di media sosial.
Adapun hal yang wajib dilakukan oleh peserta pemilu salah satunya adalah membuat tim kreatif yang khusus menggarap media sosial agar proses tebar pesona yang dilakukan benar-benar dapat menarik pemilih muda. Tim kreatif harus mengetahui secara pasti keinginan pemilih muda agar bisa menguasai market yang besar ini.
Namun, upaya untuk menggaet suara pemilih pemula dengan membangun citra positif di media sosial oleh para peserta pemilu tentunya tidaklah mudah. Akan ada tembok penghalang yang harus segera diruntuhkan, yaitu masih adanya pejabat publik yang terjerat kasus hukum.
Survei yang dilakukan Indikator Politik Indonesia mengungkapkan bahwa 52,7 persen anak muda menilai bahwa partai politik maupun politisi gagal mewakili masyarakat dalam menyuarakan berbagai aspirasinya. Menurut mereka, pesta demokrasi yang dilaksanakan tiap 5 tahun sekali ini hanya menjadi ritual untuk mengganti pemimpin tanpa adanya inovasi atau perbaikan nyata untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Maka tak heran jika dalam survei yang dilakukan Indikator Politik Indonesia mengungkapkan bahwa pemilih muda memiliki keinginan untuk dipimpin oleh orang yang memiliki karakter jujur dan tidak korupsi, merakyat dan sederhana, berwibawa, berprestasi dan memiliki pengalaman serta kecakapan dalam memimpin.
Burhanudin Muhtadi menjelaskan dalam penelitiannya bahwa pemilih muda ini merupakan pemilih yang rasional dalam pilihan politiknya dan memiliki pendirian. Maka menjadi tantangan besar bagi peserta pemilu supaya tebar pesona yang dilakukan di media sosial dapat meraup ceruk pemilih pemula yang besar dengan memberikan optimisme dan meyakinkan pemilih pemula bahwa citra ataupun pesona yang ditampilkan adalah wujud nyata dalam menjaga amanah dan memperjuangkan aspirasi masyarakat dengan sepenuh hati.
Oleh karenanya, seiring dengan perkembangan zaman partai politik mau tidak mau dituntut untuk melakukan regenerasi. Panggung politik hendaknya tak hanya diisi oleh para petarung dari kalangan usia tua tapi juga dari generasi muda. Tujuannya tentu untuk bersinergi saling mengisi dan mengimbangi.
Kabar baiknya, belakangan mulai banyak terlihat anak-anak muda berbondong-bondong mencoba peruntungan di dunia politik meski barangkali keterlibatan mereka ini berangkat dari rasa suka atau sekadar coba-coba, namun tak dipungkiri mereka membawa warna baru, angin segar, dan harapan. Tak hanya menjual popularitas dan gaya kekinian, kaum muda ini memiliki gaya komunikasi yang dinilai tidak konvensional sehingga kredibilitas dan integritas generasi milenial ini perlu diuji jangan sampai hanya umbar janji dan basa-basi.
Kehadiran wajah anak muda harus diakui tidak hanya sebagai strategi yang menguntungkan partai politik tetapi juga diharapkan mampu mendongkrak tingkat partisipasi pemilih dari kalangan anak muda. Namun demikian, jalan bagi politikus muda bukan berarti bebas hambatan. Politikus muda dihadapkan pada tantangan kondisi politik Indonesia yang identik dengan mahalnya ongkos politik sehingga memicu adanya praktik korupsi dan politik uang. Godaan kekuasaan membuat nasib mereka menjadi lebih cepat berbalik.
Singkatnya, politik bukan hanya soal pertarungan namun juga pengetahuan perdebatan hingga manuver saling serang menjadi dinamika dan panorama yang seakan biasa dalam kontestasi politik. Politikus muda menjadi harapan membawa perubahan untuk politik yang damai dan mencerdaskan.
Penulis: Rohani(Pemerhati Pemilu)
Komentar