Penulis : Endang Sumpena (Mahasiswa Pasca Sarjana UNIDA Bogor)
Bogor – Berbeda dari tahun pertama pandemi covid-19, yaitu tahun 2020 yang ditutup dengan kekhawatiran pandemi yang berkepanjangan. Tahun kedua pandemi covid-19, yaitu tahun 2021 ditutup dengan kekhawatiran matinya aliran listrik disebagian wilayah tanah air. Hal ini muncul kepermukaan setelah ramainya pemberitaan tentang PLN yang kekurangan pasokan batubara untuk menggerakkan turbin-turbin PLTU nya. Beragam pendapat mengisi media cetak maupun online, ada yang menyalahkan Manajemen PLN karena kondisi ini sering terjadi, ada yang menyalahkan pengusaha batubara karena mendahulukan ekspor untuk mendapatkan keuntungan dibanding mendahulukan kepentingan dalam negeri. Ada juga yang memberikan penjelasan sebab-sebab terjadinya kekurangan pasokan batubara ke PLN, antara lain karena tingginya harga gas alam untuk pembangkit listrik dunia sehingga biaya produksi listriknya mencapai 47,68 Euro/MWh, sedangkan bila menggunakan batubara hanya 40,17 Euro/MWh, sehingga mereka beralih ke batubara dan menyebabkan meningkatnya permintaan batubara dari Indonesia, demikian dikemukakan oleh Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA), Djoko Widajatno.
Terlepas dari beragam pendapat dan penyebab kurangnya pasokan batubara kepada PLN yang mengancam ketersedian listrik secara nasional, Pemerintah  bergerak cepat dengan mengeluarkan peraturan yang melarang ekspor batubara, sebagaimana tertuang dalam surat Ditjen Minerba nomor B-1605/MB.05/DJB.B/2021 yang diterbitkan pada 31 Desember 2021. Surat yang ditujukan langsung kepada pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B), Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi, dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) serta perusahaan pemegang izin pengangkutan dan penjualan batu bara, berisi tentang larangan melakukan kegiatan ekspor batu bara dari 1 Januari sampai 31 Januari 2022. Terbitnya aturan larangan ekspor ini juga dipicu oleh tidak terpenuhinya Pemenuhan Kebutuhan Dalam Negeri atau Domestic Market Obligation (DMO) sebesar 25% dari produksi perusahaan batubara.
Reaksi keras atas berlakunya aturan tersebut datang juga dari beberapa Negara yang merasa terganggu pasokan batubaranya dan dari pengusaha batubara yang merasa kehilangan kesempatan mendapatkan keuntungan yang tinggi saat harga batubara dunia pada posisi yang tinggi, bahkan ada juga yang menyuarakan bahwa Negara berlaku tidak adil karena memonopoli pengaturan pemasaran batubara, padahal yang membangun dan membesarkan bisnis batubara adalah pengusaha dengan modal yang tidak sedikit dan waktu yang tidak sebentar. Disisi lain, saat terjadi penurunan harga batubara sampai titik terendah dan mengancam kelangsungan usaha pertambangan batubara, tidak ada intervensi pemerintah untuk menjaga kestabilan harga batubara.
Dilihat dari sudut pandang peraturan, sebagian pendapat yang menyatakan larangan ekspor batubara tersebut tidak adil dan berbau monopoli tidaklah sepenuhnya salah. Mengacu pada UU Nomor 5 tahun 1999, Pasal 1, angka 1, bahwa monopoli adalah penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha. Alasan tidak sepenuhnya salah yang dimaksud diatas adalah bagaimanapun larangan ini dipicu oleh kurangnya pasokan kepada PLN yang berstatus Perseroan. Itu artinya PLN adalah pelaku usaha yang sama statusnya dengan perusahaan batubara yang keberadaannya diatur oleh UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Disisi lain, rasa ketidakadilan yang dimaksud adalah karena hanya sebagian perusahaan batubara yang belum memenuhi Domestic Market Obligation (DMO), tetapi tindakan yang diambil pemerintah adalah memberlakukan larangan ekspor kepada seluruh perusahaan batubara.
Pendapat berbeda tentu disampaikan oleh Pemerintah sebagai pembuat peraturan dan tanpa perlu dipertanyakan lagi, keputusan tersebut sudah barang tentu memiliki dasar yang kuat, melalui kajian dan sudah memenuhi unsur formil serta materiil. Apalagi bila kita telaah lebih jauh, isi keputusan tersebut tidak hanya melarang ekspor, melainkan juga menyebutkan jika perusahaan batubara sudah memiliki batubara di pelabuhan muat dan/atau sudah dimuat di kapal, Kementerian menginstruksikan agar segera dikirim ke pembangkit PLN dan IPP. Hal ini menunjukan keputusan tersebut sudah didasari oleh satu kajian teknis dan opsi jalan keluarnya.
Dilihat dari aspek kedaulatan, walau pada akhirnya Surat Keputusan tersebut dicabut pada 13 Januari 2022 atau 17 hari sebelum masa berlakunya habis, terbitnya Surat Keputusan larangan ekspor batu bara itu adalah langkah benar yang dilakukan oleh Pemerintah. Bagaimanapun Pemerintah punya kewajiban melaksanakan amanat UUD 1945 sebagaimana tertuang dalam Pasal 33 Ayat 2, yang berbunyi Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara dan Ayat 3 yang berbunyi Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Dari uraian diatas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa Larangan Praktek Monopoli ada pengecualian, yaitu apabila Negara menghendaki dan untuk kepentingan rakyat maka tidak dapat dikatakan Monopoli oleh Negara, karena hakikatnya Negara adalah pemilik dari sumber daya alam dan hal tersebut dinyatakan dengan tegas dalam konstitusi.
Sebaliknya apabila dalam kondisi terjadi ancaman atas kepentingan rakyat, seperti halnya kekurangan pasokan batubara yang mengancam matinya aliran listrik di sebagian wilayah Indonesa seperti akhir tahun 2021 dan Pemerintah tidak mengambil tindakan untuk menyelamatkan kepentingan rakyat yang terancam, maka Pemerintah sebagai perpanjangan tangan Negara dalam mengelola pemerintahan dapat dianggap abai dan tidak menjalankan amanat UUD 1945 sebagai konstitusi Negara Republik Indonesia. (RedG)