Penulis : Salwa Salsabilla, (Mahasiswi Aktif Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan.)
Jakarta – Setelah kemerdekaan, penulis Indonesia merasakan rasa kemerdekaan yang kuat dan sebagai penulis, mereka memiliki kebebasan untuk menciptakan karyanya. Disisi lain, mereka juga berkewajiban untuk menegakkan kemerdekaan yang baru saja digapai oleh masyarakat Indonesia. Keinginan yang kuat untuk menciptakan, mengisi, dan meningkatkan budaya baru. Membuat para sastrawan pada masa ini memiliki ciri dan karakteristik tersendiri disetiap karya yang mereka ciptakan.
Dibandingkan dengan karya sastra Angkatan Pujangga Baru, tulisan generasi ini lebih membumi pada kenyataan. Sastra generasi ini juga mengeksplorasi pengalaman pribadi dan revolusi sosial politik dan budaya yang terjadi tepat di tengah-tengah Indonesia. Sastra ini lebih bernuansa emotif, revolusioner, dan nasionalis.
Penulis dari zaman ini juga disebut sebagai mereka yang “tidak berteriak tetapi melaksanakan”. Sastra kelas 45 juga disebut sebagai “sastra alam” karena menggambarkan kehidupan sehari-hari dan memperkenalkan karakter secara dramatis, menekankan analisis melalui interaksi manusia daripada berfokus pada pemeriksaan fisik
Aktualisasi budaya baru yang sebelumnya menjadi polemik budaya, dibangun melalui pelebaran ranah budaya. Sastra Indonesia menunjukkan bahwa ia telah mengalami periode perselisihan yang intens. tahap pendewasaan dengan munculnya bentuk-bentuk sastra yang sangat berbeda dengan norma atau aturan pada periode sebelumnya.
Pada periode ini, banyak sekali sastrawan yang yang ikut serta dalam proses perkembangan sastra pasca kemerdekaan. Sastrawan terkenal pasca kemerdekaan antara lain adalah Chairil Anwar, Asrul Sani, Rivai Apin, dan Idrus.
1.    Chairil Anwar
Chairil Anwar lahir di Medan (Sumatera Utara) 26 Juli 1922, ). Sejak kecil, Chairil telah menampakkan diri sebagai siswa yang cerdas dan berbakat menulis serta menguasai tiga bahasa asing yaitu Belanda, Inggris, dan Jerman secara lancar.       Dalam sastra Indonesia kontemporer, ia disebut sebagai “bapak revolusi” dan merupakan tokoh protagonis dari empat pelopor generasi ke-45. Ia dianggap sebagai seorang individualis dan anarkis. dan menurut H.B. Jassin, ia telah menulis 94 karya, termasuk 70 puisi asli, 4 adaptasi, 10 puisi terjemahan, 6 prosa asli, dan 4 prosa bahasa lain.
- Asrul Sani
Asrul Sani ikut mendirikan Free Artists Center bersama Chairil pada tahun 1947 dan menjabat sebagai editor majalah “The Arena” sebagai pelopor reformasi sastra kontemporer. Asrul Sani dianggap sebagai pribadi yang terhormat dan bermoral. Asrul Sani telah menulis banyak artikel, cerita pendek, dan puisi. Beliau juga telah menciptakan sastra dari berbagai genre, termasuk teater, roman, dan puisi. Namun, ia lebih di segani sebagai seorang pemikir bidang sastra dan budaya.
3.    Rivai Apin
Rivai Apin adalah satu-satunya anggota pendiri angkatan 45 yang karya nya belum diterbitkan dalam bentuk buku. meskipun puisinya telah memenuhi syarat untuk dibukukan. Tetapi karya Rivai Apin telah bersebaran dimajalah pada masa itu. Puisi-puisi karyanya bersifat tegas dan memberontak seperti dalam puisi-puisi vitalis Chairil, puisi nya juga tidak semerdu milik Asrul Sani. Rivai Apin juga dikenal sebagai nihilis yang kemudian menemukan nilai hidupnya dalam ideologi sosialis.
- Idrus
Sebagai pelopor dalam bidang prosa, khususnya cerita pada generasi ke-45. Karya yang diciptakan oleh Idrus pada dasarnya, dibangun atas ide-ide langsung dan tidak menghias kata-kata. Oleh karena itu, setiap kata dan kalimat yang ditulisnya harus memiliki arti. Dalam karyanya, Idrus juga fokus pada masalah pengamatan sosial. Idrus adalah sosok yang sinisme ketika menyusun karya-karyanya. Sama halnya dengan Asrul Sani dan Rivai Apin, Idrus juga termasuk dalam kategori yang  meski luar biasa dan cukup banyak karya seperti drama, novel, dan cerita pendek, tetapi tidak banyak karyanya yang mencapai nilai sastra abadi. (RedG)