oleh

Menelisik  Tradisi Keagamaan Sebelum dan Sesudah Pandemi di Desa Petiken

Penulis : NASRIYATUN NURIYAH) Mahasiswi Ilmu Ilmu Al-Quran dan Tafsir Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang.)

 

Semarang – Pada 2 Maret 2020, untuk pertama kalinya pemerintah mengumumkan dua kasus pasien positif Covid-19 di Indonesia. Lalu, Pakar Epidemiologi Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono menyebutkan virus corona jenis SARS-CoV-2 sebagai penyebab Covid-19 itu sudah masuk ke Indonesia sejak awal Januari. Awal maret menjadi masa transisi lokal dan bukan penularan kasus impor.

Kemudian 27 Nopember 2021, Indonesia telah melaporkan 4.255.672 kasus positif menempati peringkat pertama terbanyak di Asia Tenggara, namun dalam hal kematian, maka Indonesia menempati peringkat ketiga terbanyak di asia dengan kematian 143.807 kematian. Sehingga ada beberapa upaya pencegahan, salah satunya adalah memberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) pada tahun 2020, kebijakan ini menjadikan masyarakat mulai mengenal apa itu Pemberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) kemudian mulailah program vaksinasi pada 13 januari 2021 dimana Presiden Joko Widodo menerima vaksin covid-19 di istana negara.

Saat inilah kemudian warga Indonesia sudah familiar dengan istilah pandemi covid-19. Sehingga ada beberapa tradisi keagamaan masih berlangsung dan ada juga yang tertunda dan akhirnya tidak terlaksana karena prosedur yang sangat ketat, Penulis mencoba untuk menelisik di dua lokasi pilihan, seperti apa tradisi keagamaan sebelum pandemi dan saat pandemi covid-19 berlangsung.

 

Hasil dan Pembahasan Tradisi Keagamaan Sebelum Pandemi di Desa Petiken

 

Tradisi keagamaan adalah suatu kebiasaan yang turun-temurun yang dilatarbelakangi faktor agama. Tradisi keagamaan mengandung unsur-unsur yang berkaitan dengan ketuhanan atau keyakinan masyarakat terhadap pemeluk agama tersebut.

Makna dalam pelaksanaan suatu tradisi keagamaan akan selalu didasari sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya. Hal tersebut dilakukan oleh masyarakat guna mendorong masyarakat melakukan dan menaati nilai-nilai dan tatanan sosial yang telah disepakati sehingga memberikan suatu motivasi dan nilai-nilai mendalam bagi seseorang yang memercayainya dan mengaplikasikannya.

Setiap tradisi keagamaan memuat simbol-simbol suci melalui serangkaian ritual, penghormatan, dan penghambaan. Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintah nasional dan berada di daerah kabupaten.

Ciri-ciri suatu desa lengket dengan suatu tradisi atau budaya dengan tujuan untuk melestarikan adat istiadat nenek moyang. Seperti halnya di Desa Petiken Kecamatan Driyorejo, Kabupaten Gresik banyak tradisi keagamaan seperti selamatan kematian, rutinan tahlil, khatmil Qur’an, Megengan, sedekah bumi, dan lainnya.

 

Adapun sebagian contoh tradisi keagamaan yang dilaksanakan di Desa Petiken sebelum pandemi COVID-19 sebagai berikut:

  1. Selamatan

Selamatan merupakan upacara pokok bagi orang Jawa dan merupakan unsur terpenting dalam hampir semua ritus dan upacara dalam sistem religi orang Jawa yang melambangkan kesatuan mistis dan sosial mereka yang ikut di dalamnya dengan melibatkan handai taulan, tetangga, rekan sekerja, arwah setempat, nenek moyang yang sudah mati, dan sebagainya yang semuanya duduk bersama mengelilingi satu meja untuk diminta perlindungannya, restunya, dan kesediaannya untuk tidak mengganggu. Upacara selamatan oleh masyarakat Jawa dilakukan hampir pada semua kejadian seperti kelahiran, khitanan, pernikahan, perayaan Islam, bersih desa, pindah rumah, pengubahan nama, kesembuhan penyakit, dan sebaginya.

Ada yang meyakini bahwa Selametan adalah syarat spiritual yang diwajibkan dan jika dilanggar akan mendapatkan ketidakberkahan atau kecelakaan. Masyarakat Jawa mengadakan upacara selamatan dengan tujuan agar dirinya merasa tenteram karena telah diselamatkan oleh Allah atau mengharapkan keselamatan dari Allah yang diyakininya.

Berdasarkan keyakinan itu, Selametan disebut agama. Upacara Selametan kematian adalah kegiatan yang dilakukan oleh pihak keluarga almarhum atau pun dengan mengundang tetangga dalam rangka melakukan ibadah-ibadah seperti sedekah dan tahlilan yang pahalanya diniatkan untuk dihadiahkan kepada almarhum. Setelah orang meninggal biasanya dilakukan upacara doa, sesaji, selamatan, pembagian waris, pelunasan hutang, dan sebagainya.

Tradisi selamatan kematian atau tahlilan ini didasarkan pada konsep ajaran-ajaran yang dikembangkan Wali Songo. Upacara tersebut sebagai bentuk penghormatan dan mendakan orang yang telah meninggalkan dunia. Ketika tradisi ini dilanjutkan oleh penganut Islam, maka bacaan selama prosesi itu diubah dengan kalimat-kalimat suci Islam.

Mantra diganti tasbih, tahlil, tahmid, ayatayat al-Quran, dan sebagainya. Secara garisbesar, prosesi Selametan kematian terdiri dari delapan kegiatan yaitu, (1) Geblag atau selamatan setelah penguburan, (2) Nelung Dina atau selamatan setelah tiga hari kematian, (3) Mitung Dina atau selamatan setelah tujuh hari kematian, (4) Matangpuluh Dina atau selamatan setelah 40 hari kematian, (5) Nyatus Dina atau selamatan setelah 100 hari kematian, (6) Mendhak Sepisan atau selamatan setelah satu tahun kematian, (7) Mendhak Pindho atau selamatan setelah dua tahun kematian, dan (8) Nyewu atau selamatan setelah seribu hari kematian.

Baca Juga  Monopoli Negara Atas Kekayaan Sumber Daya Alam

 

  1. Rutinan tahlil

Tahlilan berasal dari bahasa Arab yang memunyai makna menyatakan Allah sebagai Tuhan melalui upacara Laa ilaaha illallah. Tahlilan sudah menjadi budaya luhur yang diisi dengan ibadah berdoa kepada Allah. Rutinan tahlil di Desa Petiken diadakan setiap sepekan sekali yang diadakan bergantian ke rumahrumah anggota jemaah.

Kegiatan tahlilan di Desa Petiken dibagi menjadi dua, yakni tahlil remaja laki-laki dan tahlil remaja perempuan. Tahlil remaja laki-laki diadakan setiap Kamis sedangkan tahlil remaja perempuan diadakan setiap Rabu. Rutinan tahlil di Desa Petiken dilakukan per-RW dan membayar per orang lima ribu rupiah. Kegiatan rutinan tahlil ini mengirim doa kepada almarhum dan almarhumah. Adapun susunan acara rutinan tahlil yaitu pembukaan, pembacaan tawasul, pembacaan surat Yasin dan tahlil, dan doa penutup. Di akhir acara rutinan tahlil biasanya makanan dan minuman atau diberi jajan.

  1. Khatmil Qur’an

Khatmil Qur’an atau biasanya disebut khataman Al-Qur’an. Khatmil Qur’an artinya menyelesaikan bacaan Al-Quran dari juz 1 sampai juz 30 dengan bacaan dan tajwid yang benar. Dilakukan oleh warga desa yang sudah khafid khafidzoh, para khufadz akan datang sejak pagi, nantinya selesai pada bada duhur. Saat mengaji mereka bisa berada di majlis taklim, berada di masjid, musholla ataupun kadang permintaan warga yang meminta agar rumahnya diberkahi, sehingga pembacaan dilakukan dirumahnya. Tradisi ini turun temurun, dan mereka yang menjadi tuan rumah tidak merasa keberatan, bahkan bangga, karena rumahnya dibacakan oleh para khufadz agar mendapatkan keberkahan dunia dan akhirat.

  1. Megangan

Megangan berasal dari kata “ megangan “ berarti menahan (ngempet) dan yang berarti sebenarnya yaitu mengingatkan bahwa sebentar lagi akan memasuki bulan puasa. Tradisi upacara megengan adalah salah satu bentuk kebudayaan atau sebuah spiritual yang mencampurkan budaya lokal dan nilai -nilai islami sehingga sangat tampak adanya lokalitas yang masih kental adanya lokalitas yang masih kental denagn adanya budaya islam jawa.

Ritual adalah tata cara dalam upacara kepercayaan ,bisa dilakukan oleh kelompok atau personal pribadi .Tradisi Upacara megengan di Petiken ini termasuk tradisi turun menurun yang saat ini masih dipertahankan.Dalam tradisi, Megengan juga dapat diungkapkan dengan rasa sykur dengan membagi haul untuk menyambut datangnya bulan suci  Ramadhan. Haul dalam Arab berarti tahun. Dalam masyarakat Indonesia, khususnya jawa, memiliki arti yang sangat khusus, yaitu suatu upacara ritual keagamaan untuk memperingati datangnya bulan suci Ramadhan.

Tradisi Megengan Di Desa Petiken biasanya dilakukan pada bulan Syaban sebelum bulan suci Ramadhan hadir dengan berbagai macam kegiatan mulai dari ziarah ke makam sesepuh dan bancakan (mengundang atau memberi makan kepada orang-orang sekitar rumah). Megengan biasanya dilakukan dengan cara kondangan (mengundang orang-orang sekitar kerumah). Megengan juga dilakukan di mushola atau masjid.

  1. Sedekah Bumi

Tradisi Sedekah Bumi merupakan salah satu adat berupa prosesi seserahan hasil bumi masyarakat kepada alam.Tradisi ini biasanya ditandai dengan pesta rakyat yang diadakan di balai desa atau di di lapangan maupun tempat-tempat yang dianggap sakral oleh masyarakat. Tradisi  masyarakat ini sudah berlangsung turun menurun dari nenek moyang dan berkembang di Pulau Jawa, terutama di wilayah yang kuat akan budaya agraris. Sedekah Bumi adalah salah satu upacara tradisional untuk mengungkapkan rasa syukur kepada sang pencipta. Tradisi ini masih banyak kita jumpai pada masyarakakat di daerah pedesaan yang kehidupannya ditopang sektor pertanian seperti masyarakat Petiken.

Tradisi Sedekah Bumi menjadi ekspresi terima kasih masyarakat kepada Tuhan yang Maha Esa untuk segala karunia yang diberikan Seluruh warga Desa Petiken berkumpul dengan penuh suka cita untik mengungkapkan rasa berterima kasih mereka  melalui berbagai kegiatan ritual keagamaan dan pesta rakyat. Bagi masyarakat jawa, khususnya para kaum petani,tradisi sedekah bumi bukan sekadar rutinitas nya atau ritual yang sifatnya tahunan. Akan tetapi, tradisi sedekah bumi mempunyai makna yang mendalam. Selain mengajarkan rasa syukur, tradisi sedekah bumi juga mengajarkan pada bahwa manusia harus hidup harmonis dengan alam smesta. Acara sedekah bumi di pusatkan ditengah-tengah balai desa Petiken dan lapangan tepat pada bulan Ruwah. Pada acara tersebut, seluruh masyarakat Petiken harus hadir. Tujuannya untuk keselamatan bersama dan masyarakat pun membawa nasi putih,kuning serta buah-buahan seperti salak, jeruk, semangka, dan jajanan seeperti onde-onde, kucur, rengginang, ketan, wingko.

Sedekah Bumi diadakan dan masing-masing warga diminta membawa sesaji dari rumah.Sesaji itu merupakan simbol permohonan keselamatan masyarakat kepada Tuhan Yang Maha Esa. Inti sedekah bumi untuk menghindarkan masyarakat dari bencana sekaligus sebagai bentuk persaudaraan antar warga. Ritual yang diadakan menampilkan hiburan seperti wayang kulit. Tradisi ditutup dengan doa bersama yang dipimpin tokoh-tokoh agama. Sedekah Bumi merupakan bagian dari budaya yang berkembang dalam masyarakat Petiken. Tradisi tersebut merupakan akulturasi kebudayaan dan agama.

Baca Juga  Citra Positif di One Page Google

 

Menelisik Tradisi Keagamaan saat Pandemi Di Kelurahan Brebes Kabupaten Brebes Jawa Tengah

Adat istiadat menjadi bagian tak terpisahkan dari sebuah karakter yang dibangun oleh masyarakat secara turun temurun, bahkan Sebagian masyarakat terkadang menyalahkan warganya jika tidak melestarikan adat tersebut, namun seiring perkembangan zaman, apalagi disaat pandemi covid-19, kebiasaan adat itu dilakukan kemudian ditunda, karena ada larangan PPKM, yakni berkerumunan dan tidak diperbolehkan untuk melanggar protocol Kesehatan, terlebih lagi banyak kegiatan hajatan yang mendatangkan hiburan pun tidak boleh berlangsung, dampaknya adalah para pengusaha entertain menjadi lesu dan pekerjanya harus ganti profesi karena efek kebijakan ini.

 

Beberapa tradisi saat pandemi tidak dilakukan meliputi :

  1. Sedekah bumi, tradisi ini sering dilakukan oleh warga, bentuk rasa syukur atas hasil bumi yang ada kemudian diadakan ritual dengan memanjatkan doa yang dipimpin oleh ulama setempat, biasanya mereka melakukan kegiatan tersebut dengan mengundang warga kisaran ratusan warga, mereka membawa sejumlah makanan dan ada tumpeng, lalu salah satu tokoh yang dituakan membacakan sambutan dan menyerahkan serangkaian kegiatan ini kepada ustad untuk memimpin yasin dan tahlil ditutup dengan doa, namun saat pandemi kegiatan sedekah bumi sementara ditunda, menunggu kebijakan dari pemerintah, karena dikhawatirkan akan berkontribusi pada penyebaran virus covid-19.

 

  1. Rutinan Tahlil tiap malam jumat kliwon

Sebelum pandemi, warga membiasakan kirim doa Bersama di masjid atau musholla dengan menghadirkan warganya, dan masing-masing warga mengirimkan daftar nama almarhum-almarhumah, namun saat pandemi kegiatan berkerumunan tidak diperbolehkan, bahkan jika dilakukan maka akan ada aparat desa/kecamatan seperti dari babinkamtibmas dan babinsa akan mendatanginya dan memberikan edukasi, agar sementara ditunda, warga harus mematuhi peraturan pemerintah dan jangan sampai menjadi klaster baru covid-19, akhirnya warga memilih jalur zoom meeting, namun tidak sebagus dengan model tatap muka atau kumpul bersama.

 

  1. Nyekar setiap jumat kliwon

Setiap malam jumat, menjadi kebiasaan/tradisi bagi warga di Kelurahan Brebes untuk mendatangi makam kedua orangtuanya, ini diungkapkan sebagai bentuk birul walidain, anak sholehah sholehah selalu mendoakan kedua orangtuanya agar mereka selamat dunia dan akhirat, walaupun sudah menjadi almarhum almarhumah, namun mereka tetap mendatangi makbaroh kedua orangtuanya, dengan membaca buku yasin dan tahlil, kemudian membawa kembang yang ditaburkan dimakam orangtuanya. Mereka yang tidak bisa membaca yasin dan tahlil, tetap akan datang walaupun hanya menaburkan kembang atau ada juga yang membawa dupa dan dinyalakan ditaruh di tanah makam orangtuanya.

Tradisi nyekar ke makbaroh masih diterjadi, mereka bisa beranggapan bahwa nyekar itu bisa jaga jarak, walaupun ada kerumunan tapi sifatnya tidak berbarengan, sehingga tradisi ini masih dilakukan dibeberapa desa/kelurahan, sehingga saat kamis sore jelang jumat kliwon akan ramai warga mendatangi makam muslim di desa/kelurahan.

 

  1. Unggah-ungahan Jelang Puasa dan Akhir

 

Tradisi ini hampir mayoritas dilakukan warga saat jelang puasa, dinamakan dengan unggah-unggahan, biasanya dilakukan jelang puasa, sedangkan untuk akhir puasa maka dinamakan dengan udun-udunan. Mereka membuat nasi beserta lauk pauknya, dan dibagikan kepada warga sekitarnya. Proses unggah-unggahan dan udun-udunan biasanya diberikan lewat anaknya untuk mengantarkan nasi dan lauk pauk tersebut, tujuannya untuk melatih mereka agar mengenal tetangganya, juga mengenal lingkungan sekitarnya, sekaligus ini adalah tradisi yang baik. Tradisi ini masih berjalan walaupun saat pandemi.

 

  1. Nyadran Saat Idhul Fitri

Saat pandemi, karena ada larangan untuk mudik, sehingga tradisi nyadran tidak sebaik sebelum terjadi covid-19, nyadran menjadi sebuah tradisi karena ada makna tersirat dan tersurat, salah satunya adalah ukhuwah Islamiyah, dan mengikat tali silaturokhim sekaligus memperkenalkan antar saudara, supaya tidak putus hubungan antara satu bani. Selain nyadran juga ada kegiatan diwujudkan dengan bentuk halal bi halal.

 

Kesimpulan atas tulisan ini adalah, tradisi keagamaan yang turun temurun bagi warga adalah sebuah ikhtiar positif yang baik, karena bisa memperkuat ukhuwah Islamiyah, nilai kemanusian, tali silaturokhim, termasuk unsur pencapaian indicator moderasi beragama begitu jelas terlihat, dimana nilai-nilai yang muncul dan ini harus dilestarikan, karena pendekatan sosial budaya menjadi saluran media komunikasi dan upaya melestarikan warisan luhur bangsa ini.

Sebelum ada pandemi dan saat ada pandemi covid-19 tentunya akan mengalami kendala, karena kendala ini bisa terjadi seiring dengan mewabahnya virus yang belum ada obat manjurnya, hanya bisa dilakukan dengan pencegahan dan mematuhi protocol Kesehatan. (RedG)

Komentar

Tinggalkan Komentar