oleh

Mbah Slamet, Nafas Baru bagi Bungbak

Oleh : Tri Sekar Mutiara SMA Negeri 1 Randudongkal

 

Pemalang – Pagi itu, aku menyusuri jalanan yang berkelok-kelok ke desa terpencil di Pemalang, namanya Desa Pulosari. Perjalanan ini akan menjawab rasa penasaranku yang menggeru-ngeru, seperti mesin motor yang aku kendarai.

Setelah satu jam setengah perjalanan, motorku berhenti. Suara bambu-bambu yang bergetar lembut di tengah harmoni syahdu kidung sholawat menyambut kedatanganku. Suara itu  ternyata berasal dari ruang tamu rumah pak slamet.

Bukan khas Pulosari namanya jika teh tidak tersaji ketika tamu datang. Tutur nya, aroma dan kehangatan teh menguar memenuhi ruangan. Setiap tindakannya, dari menyuguhkan teh hingga mengajak berbincang, mencerminkan keramahan dan kegigihan dalam memperkenalkan Bungbak kepada masyarakat setempat.

Lahir pada tanggal 25 Februari 1971, Pria itu tak langsung melabuhkan hatinya untuk terjun ke dunia seni. Selama bertahun-tahun, beliau menjalani profesi sebagai seorang petani. Namun, ketika usianya menginjak 40 tahun, ia teringat kenangan masa kecilnya bersama sang kakek yang memainkan alat musik Bungbak.

Dipicu oleh kenangan itu, Pak Slamet dengan tekad bulat memulai misi mengenalkan kembali Bungbak kepada masyarakat setempat. Meskipun dihadapkan pada kesulitan mencari bambu yang sesuai dan mempelajari teknik memainkannya, Pak Slamet gigih bertahun-tahun hingga berhasil menguasai dan menciptakan variasi-variasi Bungbak.

“Jadi Bungbak ini sempat menghilang, saya mulai lestarikan sejak 8 tahun lalu. Waktu itu hanya Bungbak, belum dikembangkan.” terangnya

Bahkan dirinya pun memiliki kisah unik yang lekat dengan hal mistis saat mulai melestarikan Bungbak. Pak Slamet mengungkapkan, kala itu dirinya merasa dituntun untuk membawa Bungbak ke puncak Gunung Slamet. Namun di tengah perjalanan terjadi hal yang di luar nalar.

“Di sana saya berujar, kalau memang alat musik ini dari nenek moyang Pemalang harusnya ini bunyi, dan benar, bunyi sendiri.” Ungkapnya.

Hal itu semakin membulatkan tekad perjuangan Pak Slamet Ia menyadari bahwa minat masyarakat terhadap alat musik tradisional semakin pudar, terutama di kalangan generasi muda. Mereka lebih tertarik pada alat musik modern.

Sementara alat musik tradisional dianggap kuno, mistis dan terpinggirkan. Hal ini semakin memperkuat pemikiran bahwa alat musik tradisional tidak relevan lagi. Di sisi lain Pak Slamet, seorang yang minim dalam penggunaan teknologi, merasa kesulitan untuk tetap mempertahankan keberadaan Bungbak

Namun itu menjadi tantangan tersendiri bagi Pak Slamet. Ia berpikir bagaimana caranya agar anak-anak muda bisa tertarik untuk berlatih alat musik Bungbak. Sehingga suasana musik bungbak yang muda dan menyenangkan bisa diciptakan dalam latihan.

Baca Juga  Kompol Arie Gantikan Kompol Malpa Sebagai Wakapolres Pemalang 

Ia pun memulai dengan mengajak cucunya yang bernama Radit serta anak-anak muda di sekitar rumahnya untuk mulai belajar alat musik Bungbak. Memang awalnya tidak mudah mengajarkan kembali kearifan lokal yang sudah lama hilang kepada anak-anak muda. Tapi ternyata ketertarikan Radit dan teman-temannya yang tinggilah yang menjadi semangat bagi Pak Slamet untuk melanjutkan melestarikan Bungbak.

Bungbak pun berkembang, bukan lagi hanya ada satu alat seperti yang dulu kakeknya kenalkan. Ia berpikir harus adanya inovasi agar Bungbak bisa menjadi iringan alunan-alunan sholawat zaman sekarang, karena pada mulanya alat musik Bungbak memang diciptakan oleh para leluhurnya untuk memuja Tuhan Yang Maha Esa.

“Sekarang saya buat gembong, kentrong, kentring, kentrung dan kentong. Alat musik ini buat mengiringi kidungan, sholawatan, terus lagu-lagu tradisional. Saya juga buat lagu Pemalangan,” tuturnya.

Kelima alat musik inti itu melambangkan lima rukun Islam, lalu di tambah empat alat musik lainnya menjadi sembilan yang merepresentasikan sembilan wali Songo di pulau Jawa. Kini alunan musik bungbak pun makin indah dan mampu membuai siapa saja yang mendengarnya.

Pada tahun 2010, lahirlah ide brilian dari pak Slamet untuk menggelar acara Bungbak Bertakbir. Acara ini berhasil menggaet tokoh-tokoh masyarakat dan pemuka agama di Pulosari. Hal ini menjadi batu loncatan bagi Pak Slamet. Bagaimana tidak, acara ini berhasil mendapatkan peratian masyarakat luas, hingga akhirnya dilirik oleh pemerintah Kecamatan Pulosari. Pak Slamet pun terus berinovasi seperti halnya melakukan kolaborasi Bungbak dengan alat musik modern dan implementasi instrumen modern dalam penggarapan iringan musik Bungbak. Misalnya, menampilkan sholawat-sholawat yang lebih familiar untuk anak muda dan pemanfaatan teknologi seperti mengunggah permainan alat musik Bungbak dan penampilanpenampilannya di sosial media.

Upaya itu pun terbukti dengan dikenalnya Bungbak secara luas oleh masyarakat Pulosari sebagai alat musik tradisional yang patut dihargai. Perlahan tapi pasti, persepsi negatif terhadap bungbak pun mulai menghilang.

Beberapa orang mulai belajar intensif dengan Pak Slamet, ia pun membentuk tim Bungbak bernama “Bungbak Kalimasada” yang terdiri dari sepuluh pemain Bungbak dan dua sinden pelantun sholawat. Mereka sering diundang dalam berbagai acara seperti pernikahan, khitanan, dan festival, serta penyambutan tamu dari luar Pulosari.

 

Ketenaran Pak Slamet dan alat musik Bungbak pun menarik perhatian dari pemerintah Dinas Kebudayaan Kabupaten Pemalang. Mereka diundang untuk tampil di acara HUT Pemalang ke-477, di mana mereka berkolaborasi dengan Saung Mang Udjo dari Bandung. Hasilnya, Tim Bungbak Kalimasada diakui sebagai warisan tradisi lokal Kabupaten Pemalang oleh Saung Mang Udjo dan pemerintah setempat. Setahun kemudian, Ia kembali diundang oleh Pemerintah Kabupaten Pemalang untuk mengikuti lomba kearifan lokal berkat kegigihan dan ketekunanya Pak Slamet berhasil meraih juara 3.

Baca Juga  Turnamen Bola Voli KNPI 2021, Enam Tim Ikut Serta

“Saya tidak menyangka waktu itu. Soalnya, persaingan nya cukup ketat dan Bungbak ini baru dikenal baru tidak seperti kearifan lokal yang lain”

Lalu pada tahun 2018, Pak Slamet menerima penghargaan dari IPNU & IPPNU PAC MOGA sebagai pemateri dalam acara dialog kebudayaan kecamatan Moga. Dalam acara tersebut, ia menyoroti nilai-nilai seperti kreativitas dan kesabaran yang terkandung dalam kesenian Bungbak dan bagaimana hal tersebut dapat membentuk karakter positif pada generasi muda.


Menurut Pak Slamet, mendapat penghargaan adalah bonus. Tapi, bagaimana kita tidak melupakan kearifan lokal dan menghargai jasa para pendahulu kita juga merupakan sebuah definisi prestasi di mata Pak Slamet.

“Tiang gesang ning alam dunyo mergo Ilahi, nanging kudu emut karo leluhur sing wes gawe adab peradaban nang alam iki, senajan wes balik karo Kanjeng Gusti Allah.”

Yang artinya, manusia hidup di dunia ini karena Tuhan. Tetapi, harus ingat dengan leluhur yang telah memberikan ilmu di peradaban ini walaupun mereka telah berpulang ke pangkuan Allah.

Alunan alat musik Bungbak memberikan rasa ketenangan yang bisa dijadikan sebagai sarana healing bagi anak muda. Tentunya bisa dijadikan sebagai daya tarik, di tengah ramainya trend healing berwisata ke luar negeri, justru memainkan dan mempelajari Bungbak juga bisa mendapatkan ketenangan.

Pak Slamet berharap, Bungbak akan terus dilestarikan. Menurutnya, perlu sekali dukungan dari pemerintah daerah untuk mengenalkan alat musik khas Pemalang ini kepada masyarakat luas.

“Seperti mulai dikenalkan dari anak-anak SD dan diberikan fasilitas seperti sanggar budaya begitu, agar mereka tahu Pemalang itu punya alat musik, jadi terus dilestarikan.” ujarnya.

Menurutnya tantangan terbesar saat ini adalah bagaimana generasi muda dapat meneruskan pelestarian Kearifan lokal ini di tengah-tengah gempuran globalisasi. Lanjut beliau mengatakan teknologi bisa menjadi sekutu, bukan musuh.

“Kreativitas tanpa batas, warisan tanpa tarikh” kreativitas manusia adalah kekuatan tak terbatas yang menghidupkan kembali warisan budaya dari masa lalu ke masa depan. Seperti jembatan yang menghubungkan zaman-zaman, tradisi menjadi fondasi yang kokoh bagi inovasi  dan kreativitas kita hari ini. (RedG/*)

Komentar

Tinggalkan Komentar