oleh

Kenapa Rapat Paripurna DPRD Pemalang Harus Menabrak PPKM Darurat?

Pemalang – Kepemimpinan Mukti Agung Wibowo dan Mansur Hidayat sebagai Bupati dan wakil bupati Pemalang hampir satu semester, mengangkat visi sebagai mana tercantum didalam dokumen resmi yang diserahkan ke KPU Kabupaten Pemalang “Terwujudnya Kabupaten Pemalang yang aman, agamis, Adil dan makmur”.

Tentunya, visi misi bupati ini akan dijadikan acuan dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD) Kabupaten Pemalang  yang penetapannya dilakukan oleh DPRD Kabupaten Pemalang.

Kalau melihat kemenangan Agung-Mansur dalam pilkada yang dilakukan pada 9 Desember 2020 lalu,  cukup mengejutkan banyak pihak,  hanya didukung oleh Partai Persatuan Pembangunan yang memiliki 7 kursi dan Gerindra juga 6 kursi, mampu mengalahkan koalisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang memiliki kursi 15, Golkar dengan 6 kursi dan Nasdem 1 kursi yang mengusung Agus Sukoco dan Eko Priyono serta mengalahkan pasangan Iskandar Ali Syahbana dan Ahmad Agus Wardana yng diusung PKB yang memiliki 9 kursi dan PKS sebanyak 6 kursi di DPRD Kabupaten Pemalang.

 

Komposisi Partai Pengusung dalam Pilbup Pemalang 2020

 

Komposisi di dewan legislatif inilah menjadi salah satu bahasan politis yang menarik. Dimana gabungan partai pengusung merupakan minoritas dibandingkan keseluruhan kursi di DPRD Kabupaten Pemalang.

Jauh hari setelah Agung-Mansur ditetapkan oleh KPU Kabupaten Pemalang menjadi pemenang dalam kontestasi pilkada dengan meraup suara sebanyak 338 905 suara dan mengalahkan 2 pasangan lainya yaitu Pasangan Agus sukoco – Eko Priono : 274.437 suara, Pasangan Iskandar Ali Syahbana-Akhmad Agus Wardana : 133.818 suara. Budi Rahardjo salah satu tokoh yang diakui atau tidak merupakan salah satu sosok yang berperan dalam memenangkan Agung-Mansur ini telah memprediksikan bila eksekutif dan partai pengusung tidak mampu menjalankan komunikasi politiknya maka akan ada beberapa permasalahan secara politis.

 

Tentunya kekuatiran, alumni Fisip Undip ini beralasan karena komposisi partai pengusung yang relatif minoritas.,  Dia mengusulkan adanya koalisi legislatif. Koalisi yang dibangun setelah Agung-Mansur ditetapkan dan dilantik sebagai bupati dan wakil bupati Pemalang.

Menurut pendiri BR Centre, “Koalisi legislatif” ini berbeda dengan koalisi partai pengusung, para elit partai pengusung dan eksekutif yang terdiri dari bupati dan wakil bupati Pemalang sebagai pejabat politis dan didukung oleh sekda sebagai pejabat birokrasi harus mampu merangkul para elit partai untuk bersama sama berkoalisi legislatif di DPRD Kabupaten Pemalang. Koalisi “Politik Legislatif”ini tentunya sangat penting karena ada beberapa kebijakan eksekutif yang tentunya harus mendapatkan persetujuan dari legislative.

Tentunya “koalisi legislatif ” ini menurut mantan Sekda Kabupaten Pemalang ini sangat perlu dan bersifat politis.  Sebagaimana diketahui bahwa eksekutif dan legislatif mempunyai one desk leveling  mempunyai posisi yang selevel, mempunyai posisi yang sama, tidak ada yang dominan maupun dibawahnya. Tentunya dalam posisi one desk level ini yang diperlukan adalah komunikasi politik yang efektif. Siapa yang harus berperan dalam komunikasi efektif dengan dewan agar keputusan dan kebijakan secara politis dapat diterima oleh legislative? Tentunya Bupati (dan Wakil Bupati) sebagai pejabat politis  serta Sekretaris daerah sebagai pejabat Birokratis tertinggi di Pemerintahan Kabupaten. Harus mampu mengabil peran sesuai dengan tugas, Pokok dan Fungsinya.

Baca Juga  Kepolisian Berduka, Polres Pemalang Gelar Sholat Ghaib

Sayang Koalisi legislative yang diusulkan oleh Budi Rahardjo ditolak mentah-mentah oleh elit partai pengusung.

 

Peran Sekretaris Daerah di DPRD

Dalam peraturan Pemerintah RI nomor 18 tahun 2016 tentang Perangkat Daerah disebutkan sekretaris daerah (Sekda) bertugas  membantu bupati/wali kota dalam penyusunan kebijakan dan pengoordinasian administratif terhadap pelaksanaan tugas Perangkat Daerah serta pelayanan administratif. Sekretariat Daerah kabupaten/kota dalam melaksanakan tugas dan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menyelenggarakan fungsi: a. pengoordinasian penyusunan kebijakan Daerah; b. pengoordinasian pelaksanaan tugas satuan kerja Perangkat Daerah; pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan Daerah; pelayanan administratif dan pembinaan aparatur sipil negara pada instansi Daerah; dan pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh bupati/wali kota terkait dengan tugas dan fungsinya.

Disinilah ada tugas yang diemban oleh sekda dalam pelaksanaan keberhasilan bupati yang berhubungan dengan legislative. Sebagaimana diketahui Sekda mempunyai perangkat daerah berupa sekretaris Dewan atau setretaris DPRD  yang secara administratif bertanggung jawab kepada bupati/wali kota melalui sekretaris Daerah kabupaten/kota.

Artinya ada perpanjangan tangan dan penghubung antara eksekutif dengan legislative.

Tentunya secara politis sekwan yang dibawah sekda ini harus mampu berperan serta dalam merangkul serta membantu eksekutif yang berhubungan dengan legislative.

“Sekda selaku pejabat birokrasi tertinggi di daerah harus mampu mengakomodir berbagai kepentingan politik dengan tidak abai atau menabrak aturan normative. Sekda harus mampu memposisikan birokarasi dengan legitatif untuk duduk one desk leveling tidak pada posisi dibawahnya. Kuncinya adalah membangun komunikasi politik yang efektif,” jelas Budi Rahardjo, Jumát (30/7).

Ketika komunikasi politik dibangun dengan efektif tentunya tidak akan ada rapar paripurna penetapan Perda RPJMD kabupaten Pemalang 2021 -2025 yang harus molor sampai dini hari karena tidak quorum sejak pagi hari.

Tidaknya quorum dalam rapat penting paripurna penetapan RPJMD Kabupaten Pemalang ini menurut Budi Rahardjo merupakan warning bagi eksekutif maupun partai pengusung bupati dan wakil bupati Pemalang Agung-Mansur.

Dalam rapat paripurna penetapan Perda RPJMD Kabupaten Pemalang sebagai dasar pijakan arah pembangunan lima tahun kedepan pada era bupati dan wakil bupati Pemalang ini sejak pagi sesuai jadwal rapat ditetapkan hanya sebanyak 13 orang, dari partai pengusung PPP dan Gerindra.

Ada apa gerangan? Dimana anggota dewan yang lainnya? Apakah memboikot? Atau lainnya?

Baca Juga  Gelaran Musda HMPS PGMI Ke 3 Wilayah Jateng-DIY

Kenyataan ini menjadi pukulan telak bagi eksekutif maupun Partai pengusung. Seakan Bupati dan partai pengusung bupati dan wakil bupati tidak mampu melakukan lobby politik jauh-jauh hari.

Setelah ditunggu berjam jam, akhirnya datang sebanyak 34 anggota dewan, itupun ketua DPRD (dari PDIP) dan wakil ketua DPRD (dari Golkar) tidak menandatangi berita acara rapat paripurna ini. Serta ditambah keluarnya salah satu anggota dewan dari rapat paripurna sehingga hanya berjumlah 33 peserta yang hadir dalam rapat yang penting ini.

Dengan keluarnya salah satu anggota DPRD ini tentunya secara fisik jumlah tidak memenuhi quorum rapat paripurna. Apakah keputusan yang diambil dalam rapat tersebut apakah sah atau tidak. Tentunya ini perlu kajian akademis atau kajian politis lebih lanjut.

Sebagai simpulan, menurut Budi Rahardjo, tidak adanya komunikasi efektif yang dilakukan oleh eksekutif (bupati sebagai pejabat politis dan Sekda sebagai pejabat birokrasi) akan menjadi ganjalan politik dalam menentukan kebijakan di Kabupaten Pemalang.

 

Etiskah Melanggar PPKM Darurat?

Buntut dari jeleknya komunikasi politis yang dipertontonkan oleh Bupati, Sekda serta partai pengusung membuat rapat paripurna berakhir pada dini hari dikala pelaksanaan PPKM Darurat dimana warga masyarakat dibatasi jam aktivitasnya.

Tentunya secara etika kala masyarakat diminta untuk tidak berkumpul, berkerumum dan beraktivitas yang memungkinkan membuat kerumunan pada jam malam, jam yang telah ditentukan oleh pemerintah dalam rangka PPKM Darurat, Pemerintah kabupaten pemalang bersama DPRD kabupaten pemalang ngotot untuk meneruskan rapat paripurna yang berakhir dini hari.

Ada alasan yang diterima oleh awak media dari salah satu pejabat yang tidak perlu disebutkan Namanya mengatakan bahwa kegiatan paripurna ini merupakan kegiatan Kritikal dan esensial.

Dalam argument kritikal dan esensial inilah, Budi rahardjo menayakan dasar hukumnya, kenapa ngotot menyebut kritikal dan esensial, yang menurut beberapa sumber telah ijin Kapolres Pemalang.

Permasalahan yang disoal Budi Rahardjo adalah tidak adanya etika Ketika masyarakat diminta mematuhi PPKM Darurat tetapi elit Politik di pemalang justru terang-terangan melanggar apa yang telah di tetapkan.

“Harusnya Pemkab Pemalang bisa memberi contoh yang baik bagi masyarakat tentang disiplin kolektif berlakunya PPKM Darurat. Tidak sebaliknya menyelenggarakan rapat  Paripurna persetujuan RPJM hingga jam 00.00 wib. Ini merupakan tontonan buruk bagi  Rakyat. Pedagang bubur di Jabar dikenakan denda sampai 5 juta ruoiah karena berjualan melebihi jam 20.00 ssebagaimana diatur pada PPKM Darurat. Pertanyaannya apakah  rapat Paripurna itu Masuk  katagori sektor esensial atau ktitikal sebagaimana yang diatur dalam Inmendagri.?” Kata Budi.

Lebih lanjut Budi berujar, Jangan salahkan Rakyat klo sulit diatur, bila perilakumu sangat buruk dantidak  berakhlak. (RedG/swe)

Komentar

Tinggalkan Komentar