oleh

Keadilan Konsumen Perumahan Fiktif

Oleh : Ahmad Aziz Putra Pratama (Owner & Founder Monster Laut Indonesia dan Karya Pratama)

Pemalang – Kaleidoskop 2019 diantaranya ditutup dengan hebohnya pemberitaan dua kasus dugaan tindak pidana penipuan penjualan rumah syariah di Jakarta dan sekitarnya. Dari keterangan Polda Metro Jaya, korban kasus pertama sebanyak 270 konsumen dengan kerugian Rp 23 miliar dan korban kedua sebanyak 3.680 konsumen dengan nilai kerugian Rp 40 miliar.

Kedua kasus tersebut dilakukan dengan modus yang hampir sama. Harga jual murah, berkonsep syariah, pembelian angsuran, tanpa BI checking, tanpa melibatkan lembaga perbankan, tanpa bunga kredit, dan tanpa denda keterlambatan pembayaran. Proses penawaran dan penjualan dilakukan dengan menggunakan perusahaan berbentuk perseroan terbatas. Dari penelusuran sistem online, perusahaan yang digunakan telah terdaftar sebagai badan hukum di Kementerian Hukum & Hak Asasi Manusia RI.

Lantas, pertanyaan besar yang harus dijawab adalah bagaimana mekanisme pemulihan kerugian yang diderita oleh para konsumen yang menjadi korban? Dalam kerangka hukum, pemulihan kerugian yang diderita konsumen dapat dilakukan dengan menggunakan mekanisme penyelesaian sengketa secara keperdataan. Bisa melalui lembaga alternatif penyelesaian sengketa (LAPS) lewat badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) atau lewat pengadilan.

Dalam perkembangannya, penyelesaian konsumen juga dapat dilakukan memakai mekanisme Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) atau Kepailitan di Pengadilan Niaga. Pilihan penyelesaian melalui PKPU dan Kepailitan ini telah banyak ditempuh oleh konsumen perumahan. Dari hasil riset sepanjang semester I-2018, terdapat 25 permohonan PKPU dan dua permohonan pailit yang diajukan di lima Pengadilan Niaga di Indonesia terhadap perusahaan properti.
Namun, tuntutan lewat lembaga penyelesaian sengketa tersebut tidak semudah membalik telapak tangan. Lantaran dugaan tindak pidana yang terjadi memakai badan hukum seperti perseroan terbatas yang menjadi penghalang atau tabir pelindung bagi tuntutan pertanggungjawaban terhadap pribadi para terduga pelaku tindak pidana. Sebab tuntutan keperdataan tidak langsung menjangkau pertanggungjawaban pribadi pihak yang berada di balik tabir perseroan.
Dalam hukum perseroan terbatas berlaku prinsip hukum separate legal entity dan limited liability. Yakni perseroan terbatas merupakan subjek hukum mandiri yang terpisah dari pribadi pemilik dan pengurus perseroan serta adanya tanggungjawab hukum yang terbatas. Maka advokasi keperdataan yang hanya diajukan terhadap diri perseroan terbatas kurang strategis dan berpotensi sia-sia.

Baca Juga  Dinas Koperasi Jatim Terus Tingkatkan Kualitas Koperasi UMKM Berbasis Syariah

Salah satu hal yang fundamental dari hukum perseroan terbatas adalah keberadaan prinsip tanggung jawab terbatas dari pemilik perseroan atau limited liability atau limitatief aansprakelijheid. Yakni bertanggungjawab sebatas saham yang dimiliki. Ini bisa menjadi tabir penghalang tuntutan ganti kerugian konsumen yang jadi korban perumahan fiktif.

Tapi konsep limited liability tak dapat dipisahkan dari prinsip piercing the corporate veil. Yang mengajarkan tentang cara yang diperkenankan hukum untuk “membuka cadar atau tabir perseroan”. Berdasarkan keberadaan prinsip piercing the corporate veil, pengadilan dapat mengabaikan status badan hukum dari perseroan terbatas dan membebankan tanggung jawab kepada pihak pribadi pemegang saham perseroan. Kemudian, dalam perkembanganya, prinsip tuntutan pertanggungjawaban tersebut dapat diterapkan juga terhadap pribadi pengurus perseroan.

Lantas, kemana tuntutan pertanggungjawaban hukum berdasarkan prinsip piercing the corporate veil dapat diajukan?

Prinsip pertanggungjawaban pribadi pemegang saham dan pengurus perseroan terbatas telah diadopsi dalam UU Nomor 40/2007. Beleid tersebut diantaranya tegas mengatur pengesampingan prinsip limited liability dengan prinsip piercing the corporate veil. Kondisi itu bisa terjadi apabila pemegang saham terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan perseroan atau adanya itikad buruk pemegang saham yang memanfaatkan perseroan untuk kepentingan pribadinya. Sementara pengurus, dapat diminta tanggung jawab pribadi apabila tidak beritikad baik dan tidak bertanggungjawab dalam melakukan pengurusan yang merugikan perseroan.

Eksistensi prinsip piercing the corporate veil pun dapat dilihat di beberapa putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Bahkan ada putusan Mahkamah Agung RI yang mengakui keberadaan prinsip tersebut yang diperiksa bersamaan dengan proses pemberlakuan UU PT No. 1 Tahun 1995, yakni Putusan MA No. 1916 K/ Pdt/1991 tanggal 28 Agustus 1996. MA menegaskan keberadaan ajaran hukum yang disebut extension de passip atau piercing the corporate atau lefting the corporate veil, yakni pembatalan pertanggungjawaban terbatas perseroan dan dapat dipikul pengurus, apabila tindakan pengurus mengatasnamakan perseroan mengandung itikad persekongkolan buruk yang menimbulkan kerugian pihak lain.

Baca Juga  70 Anggota PPK Dilantik Ketua KPU Kabupaten Pemalang

Peran Negara Minim
Dari uraian tersebut, langkah hukum yang paling strategis untuk ditempuh demi mengembalikan kerugian yang diderita konsumen korban perumahan fiktif berkonsep syariah, baik kerugian materiil maupun immaterial, adalah mekanisme pengajuan gugatan perdata ke pengadilan. Gugatan ini menyertakan tuntutan pertanggungjawaban ke pribadi pemegang saham dan pengurus perseroan berdasarkan prinsip piercing the corporate veil.
Langkah hukum tersebut dimaksudkan agar tuntutan kerugian konsumen dapat dimintakan pertanggungjawabannya, tidak hanya terbatas pada badan hukum perseroan terbatas yang dijadikan alat oleh para pelaku, namun dapat pula menjangkau asset pribadi pemegang saham dan pengurus perseroan. Supaya bisa memperbesar probabilitas pelaksanaan amar putusan pengadilan ke depannya.
Sayang, peran negara terhadap beberapa sengketa konsumen masih belum terlihat. Belum ada satupun lembaga pemerintah dan/atau institusi negara yang mengajukan gugatan ke pengadilan terhadap pelaku usaha untuk kepentingan hukum konsumen.

Padahal, rezim hukum perlindungan konsumen telah diatur secara tegas bahwa pemerintah dan instansi terkait memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan gugatan apabila terdapat sengketa konsumen yang melibatkan kerugian materi yang besar dan atau korban yang tidak sedikit. (RedG)

Komentar

Tinggalkan Komentar