oleh

Kapitalisme dan Seni Membeli Kebahagiaan

Penulis : Choerul Bariyah

(Mahasiswa KPI UIN K.H Abdurrahman Wahid Pekalongan)

Pekalongan – “Uang menyelesaikan semua masalah, dan uang membuat kita bahagia. Apakah selalu seperti itu? Mungkin karena kita selalu menjadikan uang sebagai penyelesaian semua masalah kita, dan uang nggak bikin kita bahagia, tapi terkadang karena masalah kita bisa selesai dengan uang, membuat kita jadi bahagia.”

Statement atau kalimat-kalimat semacam itu seringkali kita dengar dari obrolan dengan teman, keluarga atau bahkan dengan pasangan. Setiap orang butuh uang, tapi cara pandang setiap orang berbeda-beda tentang uang. Jika berbicara uang pastilah tidak jauh-jauh dengan tiga istilah ini; kapitalisme, keserakahan, dan kebahagiaan.

Di kutip dari pengertian yang dikemukakan Ayn Rand (1970), definisi kapitalisme sendiri adalah suatu sistem sosial yang berbasiskan pada pengakuan atas hak-hak individu, termasuk hak milik dimana semua kepemilikan adalah milik privat. Dalam sistem kapitalisme, bukan pemerintah sebagai pemilik perusahan dan pemegang kendali faktor-faktor produksinya, melainkan individu. Kapitalisme bertujuan mencari kebebasan dan mengeruk keuntungan bagi pemiliknya. Dalam kata lain, pemilik bebas berinvestasi, menentukan barang atau jasa apa yang hendak dijual, dan berapa harga jual yang akan diedarkan pada pasar. Kapitalisme telah terbukti membawa perubahan besar pada tatanan ekonomi dunia, krisis berubah jadi kehidupan glamor nan narsis.

Namun seiring dengan perkembangan zaman, ideologi kapitalis kian berubah. Nilai atau batasan dalam kapitalisme seakan menggerogoti otak-otak bangsa. Kapitalisme dengan kekuatan kapitalnya, telah berhasil memengaruhi kebijakan di banyak negara. Dengan dalih memicu pertumbuhan ekonomi, kapitalisme ala Amerika bahkan telah menjadi penyebab meningkatnya eksploitasi atas sumber daya. Sasaran utama dari ideologi baru kapitalis adalah penanaman gaya hidup konsumtif-hedonis. Siapa yang menjadi sasaran gaya hidup kapitalis? Tentu saja semua elemen masyarakat dari mulai tukang cendol hingga pengusaha tepung, anak TK hingga Mahasiswa hingga institusi-institusi Pendidikan yang katanya adalah panutan dan pembentuk karakter terbesar bagi generasi masa depan.

Definisi kapitalisme adalah pengantar utama pada mindset kapitalis yang terbentuk pada masing-masing diri masyarakat. Bagaimana kapitalisme memainkan perannya dalam kehidupan kita, serta apakah kita termasuk pada golongan masyarakat yang terpapar ideologi kapitalis? Jika anda pernah atau bahkan sering membeli sesuatu atas dasar pemenuhan gengsi bisa jadi anda telah terpapar ideologi kapitalis. Bukan hanya dalam lingkup sederhana, kapitalisme bahkan dapat dikatakan sebagai pemicu krisis ekonomi, krisis iklim dan moral pada suatu bangsa. Mengapa demikian? Contoh sederhananya yaitu, di tengah kecanggihan teknologi semua orang menjadi terpacu pada gairah ingin memiliki, memiliki smartphone terbaru, memiliki mobil terbaru dan lain sebagainya. Semakin banyak orang yang membeli mobil akan memicu kemacetan, tentu saja gas-gas dari sisa mobil akan menimbulkan polusi. Polusi-polusi tersebut mengakibatkan global warming yang menyebabkan udara di bumi semakin panas karena menipisnya lapisan ozon. Udara bumi yang makin panas mendorong masyarakat untuk memborong teknologi pendingin bernama AC. Membludaknya penggunaan AC tak jauh-jauh seperti diketahui makin mendekatkan usia bumi pada hari kiamat. Semakin tingginya nilai permintaan dan kembutuhan membuat manusia menjadi serakah, mereka akan mengumpulkan banyak uang guna mencapai taraf hidup yang sejahtera.

Baca Juga  Kesadaran Bela Negara Mampu Mencegah Disintegrasi Bangsa 

Apakah selesai sampai disitu saja? Tentu saja tidak, justru ketika sampai pada taraf hidup sejahtera, manusia akan semakin terangsang untuk mendambakan kehidupan sejahtera dari sudut yang lainnya. Hal ini tercermin di layar-layar ponsel yang kita genggam setiap hari, para crazy rich, conten creator, public figure berlomba-lomba memamerkan kekayaan kepada masyarakat. Perilaku flexing atau pamer kekakayaan telah dinormalisasi bahkan sebagai ajang perebutan kursi pengakuan.

Hal-hal seperti diatas muncul ketika manusia memiliki sifat serakah, apalagi yang berlebihan. Menurut para ahli, keserakaahan sebenarnya adalah sifat alami yang dimiliki oleh manusia dan terjadi di mana-mana. Keserakahan tidak hanya terjadi pada orang-orang kaya, tapi juga terjadi pada orang-orang yang belum kaya atau bisa dikatakan miskin. Pada dasarnya, sifat serakah memanglah harus dimiliki setiap orang. Berbeda dengan para ahli, saya mendefinisikan serakah sebagai sesuatu yang wajib, tentunya dengan rambu-rambu yang harus dimiliki. Sifat serakah mendorong kita lebih aktif untuk mencapai mimpi-mimpi. Namun, umumnya sifat serakah dominan pada perasaan tidak puas. Keinginan tanpa batas menjadikan sifat serakah makin sulit dikendalikan.

“Seandainya anak cucu Adam (manusia) mendapatkan dua lembah yang berisi emas, niscaya ia masih menginginkan lembah emas yang ketiga. Tidak akan pernah penuh perut anak Adam kecuali ditutup dalam tanah (mati). Dan Allah akan mengampuni orang yang bertaubat.” (HR. Ahmad).

Kutipan hadits diatas menggambarkan seberapa serakahnya manusia, sifat serakah akan mengantarkan kita pada lubang kehancuran yang tak terkira dalamnya. Kembali pada bahasan kapitalisme, bagaimana kapitalisme mengukur kebahagiaan dan apa hubungannya dengan keserakahan? Ideologi dan gaya kapitalis adalah kepentingan pribadi dan perupan keuntungan besar guna mencapai kesejahteraan. Dalam sistem kapitalis ukuran kebahagiaan adalah uang atau kapital. Semakin banyak uang yang dimiliki maka semakin bahagia dan sejahtera hidupnya. Berlandaskan hal tersebut orang-orang kapitalis akan berlomba-lomba memupuk kekayaan tanpa usai. Investasi sana-sini dengan dalih jaminan masa tua. Bahkan yang lebih mengerikan, orang kapitalis akan melakukan berbagai hal guna mencapai apa yang ia inginkan. Entah itu dari kelas rendah seperti mencopet, merampok hingga kelas tinggi seperti korupsi dan money laundry.

Meski segalanya butuh uang tapi uang bukanlah segalanya, seperti isi dalam kajian yang di sampaikan Dr. Fahrudin Faiz di kanal youtube ngafnf (ngaji filsafat dan filosofis) dengan judul ‘Apakah Uang Sumber Kebahagiaan?’ Ia mengibaratkan seseorang yang memiliki banyak uang namun tidak dalam keadaan sehat akan tetap tidak merasa bahagia, karena hidupnya membosankan, ia tidak dapat menikmati uang melimpah yang dimilikinya. Orang yang memiliki banyak uang justru rentan dengan banyaknya problem yang menghantuinya. Bagaimana ia menjaga uang, memperoleh lebih banyak uang atau minimal mempertahankan jumlah uang yang dimiliki. Perumpamaan tersebut sudah cukup menjadi gambaran bahwa uang bukanlah kunci absolut sebuah kebahagiaan.

Baca Juga  Akankah Terseret Kasus Jual-Beli Jabatan?

Di tengah porak poranda dunia kapitalis, manusia hanya perlu memiliki satu kunci yakni kontrol diri atau merasa cukup. Gunakan uang dengan benar, terutama fokuskan di bagian non material seperti pengalaman, relationship, pendidikan. Perasaan cukup akan secara otomatis mengontrol nurani saat fisik mulai memuja keserakahan.

“Ada benih-benih keserakahan dalam diriku yang berusaha ku kendalikan dengan mensyukuri hal-hal kecil.” (RedG) 

Komentar

Tinggalkan Komentar