OpiniÂ
Oleh : Budi Rahardjo (Mantan Pengurus DPD II GOLKAR Kabupaten Pemalang Pemalang.
Ketua PA GMNI (Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia ) Kabupaten Pemalang.)
Pemalang – Pada pertengahan bulan Juli 2019 saya diberikan kehormatan dapat undangan untuk ikuti Rapat Pleno Pengurus Partai Golkar Kabupaten Pemalang yang dihadiri pula oleh para Dewan Penasehat (Wanhat).
Pada rapat tersebut yang masih saya ingat adalah, munculnya aspirasi bahwa pada Pilkada 2020 Partai Golkar (PG) untuk tidak lagi bergabung dengan PDIP. Aspirasi tersebut juga dari akar rumput (grassroots) PG. Dinamika politik berjalan dengan cepat ditandai PDIP 15 kursi mengawali proses penjaringan Cabup/Cawabup disusul PG 6 kursi mengadakan pendaftaran Calon bupati/wakil bupati dengan dengan catatan tidak dapat mengusung sendiri.
Sedangkan PKB 9 kursi dengan NASDEM 1 kursi tidak membuka pendaftaran karena mengusung Ketuanya sendiri berpasangan dengan Kristina. Kemudian PPP 7 kursi, GERINDRA 6 kursi dan PKS 6 kursi masih wait and see.
Ada usaha dari PPP dan GERINDRA, mengajak PG untuk membangun koalisi permanen, tidak bergabung lagi dengan PDIP seperti Pilkada 2016 tetapi usaha usaha itu gagal tidak ada titik temu.
Ketua GERINDRA menengarai bahwa Ketua PG akan bergabung kembali dengan PDIP.
Seperti tersambar petir disiang bolong membaca berita di salah satu media online bahwa PG bergabung dengan PDIP mengusung Agus Sukoco (AS) dan Eko Priyono (EP) setelah pers realise PDIP di kantornya.
Elite Partai nyata-nyata secara arogan telah memberangus aspirasi dan kadaulatan rakyat (anggota). Nampaknya saat ini PG di Pemalang telah kembali bermetamorfosis ke wujud aslinya seperti ketika zaman Orba dulu yaitu Partai Otoriter. Dengan alasan pembenar bahwa keputusan bergabungnya PG dengan PDIP tersebut sudah melalui mekanisme yang syah. Ada proses penjaringan, penyaringan melalui fit and proper, kemudian nama-nama hasil penyaringan diserahkan ke DPD I, terus muncul nama yang disetujui.
Mustinya DPD II tidak mengirimkan semua nama hasil penyaringan jumlah 6 orang Calon Wabup tanpa catatan, tapi ada 3 nama prioritas untuk dipertimbangkan oleh DPD I. Nama-nama yang diprioritaskan tersebut harus dipertimbangkan kapasitasnya, kapabelitasnya juga dari sisi kadar kekaderan seseorang. Dulu Golkar punya standarisasi dalam seleksi yang dikenal dengan PDLT (prestasi, dedikasi, loyalitas dan tdk tercela ).
Nama EP telah mendapatkan rekom dari DPP PDIP sebagai Calon Wabup berpasangan dengan AS dan telah diumumkan melalui pers Rillis. EP juga mendaftar di PG tapi belum ada rekom dari DPP PG. Kalau demikian faktanya, kok sudah dinyatakan koalisi. Kemudian muncul pertanyaan lainnya EP itu PDIP atau GOLKAR. Pada setiap kesempatan EP suka mengenakan kemeja merah, tetapi pada saat pers realese di kantor DPC PDIP kok EP tiba-tiba mengenakan kemeja kuning (Simbol baju seragam PG). Apakah EP sekaligus diperintahkan untuk mewakili Ketua PG yang saat itu tidak hadir.
Dari gambaran tersebut, Pilkada sebagai pesta rakyat telah nyata-nyata kasat mata direkayasa oleh para elite partai. Saya mengamini pendapat bahwa pada Pilkada sejatinya yang pesta adalah para elite partai, rakyat sebagai anggota partai, struktur partai bahkan ASN cuma dimobilisir, bahkan diancam bahwa ini telah menjadi keputusan. Siapa yang melawan, tidak melaksanakan perintah akan DIPECAT. Oleh sebab itu marilah kita lawan ketamakan elite partai dalam jalankan demokrasi yang jelas-jelas telah menyimpang. Ada adagium “Rakyat berdaulat, tidak ada yang mampu mengalahkan“, sebab dalam demokrasi kadaulatan ada di tangan rakyat.
Pilkada adalah urusan kedaulatan rakyat, bukan hanya menjalankan keputusan Partai. Mari kawan-kawan kita tantang elite partai “silahkan kami dipecat” dari partai yang kau anggap sebagai milikmu sendiri. Kami tidak butuh Partai dan sebenarnya kami juga tidak lagi percaya kepada Partai.
Keputusan PG bergabung dengan PDIP usung pasangan ASEP pada Pilkada 2020 adalah keputusan yang penuh rekayasa bahkan brutal, yang akan menjadi catatan black story bagi PG.
Alasan tidak mau lagi bergabung dengan PDIP didasari pengalaman yang dirasa oleh para Kader PG sangat menyakitkan pasca Pilkada 4 tahun yang lalu. Pada saat itu PDIP jumlah kursinya 13 sudah memenuhi syarat untuk mengusung pasangan Calon sendiri sehingga calon Bupati/ wakil bupati dari PDIP semua. Kemudian digunakan nomenklatur PDIP sebagai Partai Pengusung dan sementara GOLKAR 7 suara, PPP 6 suara dan GERINDRA 7 suara, jumlah 20 suara hanya diposisikan ssebagi Partai Pendukung saja, sehingga tidak memiliki “bargaining position” yang jelas.
Kalau pada Pilkada 2020 PDIP dengan modal 15 kursi dan PG hanya 6 kursi kok disebut koalisi ? yang paling pas bukannya koalisi tapi PG hanya sekadar sebagai Pelengkap Penderita.
Nah pertanyaannya siapakah yang akan bahkan mungkin sudah mendapatkan keuntungan? Yang bisa menjawab adalah mereka para elite partai, walaupun dengan jawaban yang dipastikan penuh misterius tentunya.
Tapi rakyat dan pengamat pasti sudah bisa mendapatkan jawabannya sendiri, yaitu cuma dengan melihat perilaku dan keterpihakan elite partai kepada para Calon.
Ada beberapa adagium politik yang dapat kita pakai sebagai petunjuk atau refrensi, agar kita tidak menjadi bingung melihat dan mendengar masalah-masalah politik yang penuh ketidak pastian sebagai berikut : Politics is the art possibility, dipolitik itu tdk ada kebenaran, kejujuran dan pula kepastian, sebab yang ada adalah seni kemungkinan. Kemudian “politikus” itu memiliki dua tenggorokan, yang kanan dipakeai untuk ngomong yang benar dan yang kiri dipake ngomong mulu salah alias membohongi lawan bicara dibumbui dengan gaya penuh pencintraan yang mempesona. Tapi masalahnya kalau kita ngomong dengan politisi, kita tidak pernah tahu dia pakai tenggorokan yang mana. Ada pula adagium lain, bahwa politisi itu seperti sopir bentor di kota Medan, kalo mau belok hanya dirinya dan Tuhan yg tahu.
Tolak PG gabung dgn PDIP pd Pilkada 2020 “SELAMATKAN PARTAI GOLKAR” !
Catatan : tulisan ini hanya untuk konsumsi kader Golkar. (RedG)
Komentar