oleh

Ironi Pajak Era Jokowi : Si Miskin Tercekik, Si Kaya Diservis

Penulis : Yuli YF (Journalist Economics)

Pemerintah Presiden  Jokowi mengotak-atik aturan pajak dalam RUU tentang Perubahan Kelima atas UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Beleid itu sudah dibawa ke DPR dan masuk dalam Prolegnas 2021 yang diprioritaskan selesai untuk dapat diimplementasikan.

Terbaru, pemerintah berniat memungut pajak pertambahan nilai (PPN) bagi barang kebutuhan pokok alias sembako, seperti beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, daging, telur, susu, buah-buahan, sayur-sayuran, ubi-ubian, bumbu-bumbuan, hingga gula konsumsi.

Penarikan PPN juga akan menyasar hasil pertambangan dan pengeboran, misalnya emas, batu bara, minyak dan gas bumi, dan hasil mineral bumi lainnya. Kemudian, jasa pelayanan kesehatan medis, jasa pelayanan sosial, dan jasa pengiriman surat dengan perangko.

Tak ketinggalan, jasa keuangan, jasa asuransi, jasa angkutan umum di darat di air serta angkutan udara dalam negeri dan angkutan udara luar negeri, jasa tenaga kerja, jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam, serta jasa pengiriman uang dengan wesel pos bakal jadi objek pajak.

Selain PPN, pemerintah juga berencana mengeluarkan ketentuan pajak baru, yaitu pajak karbon bagi orang atau korporasi yang membeli barang dengan kandungan karbon atau melakukan aktivitas yang menghasilkan karbon. Ide pajak ini muncul untuk mengisi kantong penerimaan negara sekaligus mengurangi emisi karbon.

Sebelum kedua jenis pajak ini, ada juga wacana pengampunan pajak (tax amnesty), yang rencananya juga akan tertuang di RUU. Meski diklaim merupakan program yang berbeda dengan tax amnesty yang pernah dilaksanakan pada 2016 lalu, wacana pengampunan pajak ini juga sempat membuat geger masyarakat.

Selain itu, ada juga rencana kenaikan tarif pajak penghasilan (PPh), khususnya bagi ‘orang tajir’, yang tarifnya bakal naik dari 30 persen menjadi 35 persen. Sementara, bagi masyarakat dengan lapisan penghasilan lainnya tetap.

Yang juga disiapkan sejak jauh-jauh hari adalah perubahan tarif PPh badan dari 25 persen pada 2020 menjadi 20 persen pada 2022 mendatang.

Di luar rencana otak-atik itu, pemerintah telah melakukan beberapa penyesuaian pajak. Misalnya, memberikan relaksasi pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) bagi kendaraan bermotor dengan alasan ingin mendongkrak pemulihan ekonomi usai tertekan dampak pandemi covid-19.

Begitu juga dengan pajak properti untuk pembelian rumah siap huni (ready stock). Dan tentunya, beberapa insentif pajak lain dalam rangka meringankan beban masyarakat di tengah pandemi.

Baca Juga  Mengubah Rawan Jadi Aman, Peran Penting Polda dalam Pilkada

Mengisyaratkan Ketidakadilan

Kendati begitu, Ekonom sekaligus Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara menyebut berbagai wacana pajak baru Jokowi ini mengisyaratkan ketidakadilan. Bahkan, aturan pajak berpotensi memperlebar jurang ketimpangan antara si kaya dan si miskin.

“Ini ketidakadilan pajak yang kelewat batas. Kalau pemerintah tidak menggunakan logika yang lurus, bisa buyar pemulihan ekonomi. Jadi, kebijakan pajak ala Sri Mulyani (Menteri Keuangan) ini akan suburkan ketimpangan pasca-pandemi,” tutur Bhima kepada CNNIndonesia.com, Kamis (10/6).

Hal ini tercermin dari realisasi pengeluaran masyarakat kelompok 20 persen paling atas, di mana mereka kontribusi pengeluarannya naik dari 45,3 persen pada September 2019 menjadi 46,2 persen per September 2020. Sementara

“Sementara kelompok terbawah mengalami tekanan kehilangan pendapatan bahkan jadi pengangguran baru. Ini ditambah kebijakan pajak baru sampai bahan pangan dikenakan PPN sepertinya jelas pemerintah lebih berpihak pada orang kaya,” imbuhnya.

Menurut Bhima, pemerintah memberi banyak relaksasi pajak bagi orang kaya. Misalnya, relaksasi PPnBM, pajak properti, hingga tax amnesty, meski PPh berencana dinaikkan. Toh, PPh naik hanya bagi orang super kaya yang penghasilannya di atas Rp5 miliar.

“Orang kaya sudah diservis banyak oleh pemerintah. Sebentar lagi ada tax amnesty juga yang mengampuni wajib pajak kakap. Padahal, jelas-jelas tax amnesty gagal meningkatkan rasio pajak,” katanya.

Bagi mereka yang berstatus pengusaha, keringanan pajaknya semakin bertambah. Sebutlah, PPh badan akan turun menjadi 20 persen. Belum lagi, tax holiday dan lain sebagainya.

Senada, Ekonom CORE Indonesia Yusuf Rendy Manilet juga melihat ironi dalam aturan pajak baru pemerintah, khususnya ketika wacana PPN sembako dan tax amnesty muncul.

Menurutnya, PPN sembako seharusnya tidak perlu ada karena kinerja PPN sudah cukup baik tanpa perlu ekstensifikasi ke objek pajak baru.

Begitu pula dengan tax amnesty, seharusnya tidak perlu ada. Toh, pemerintah sudah pernah sekali memberi pengampunan, masa diampuni berkali-kali?

“PPN sembako dan tax amnesty merupakan kebijakan ironi, karena disaat barang yang dikonsumsi oleh kelompok masyarakat luas malah dipajaki, namun di sisi lain pemerintah malah memberikan pengampunan pajak kepada orang yang berpotensi selama ini justru tidak tertib dalam menjalankan kewajiban perpajakannya,” ujarnya.

Baca Juga  Sering Bergadang Semalaman? Kenali Istilah Revenge Bedtime Procrastination!

Apalagi, gagasan ini muncul di tengah pandemi covid-19. Sekalipun baru akan dilaksanakan pada tahun depan atau tahun selanjutnya pun, tetap saja masih kurang tepat karena belum ada jaminan perekonomian akan kembali seperti sebelum pandemi atau lebih baik dari sebelumnya.

Pemulihan Ekonomi Semakin Jauh

Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad mewanti-wanti pemerintah atas wacana aturan pajak baru ini. Ia menilai kebijakan pemerintah berpotensi membuat pemulihan ekonomi semakin jauh. Di sisi lain, jurang ketimpangan semakin menganga lebar.

“Apalagi kalau PPN sembako diterapkan, ini dampaknya bisa multiplier ke inflasi, ke ekonomi, ke kemiskinan yang semakin tinggi, ketimpangan juga. Tentu, seberapa besar dampaknya masih perlu dihitung, tapi mininal garis batas kemiskinan akan naik,” jelas Tauhid.

“Ketika harga bahan pokok naik karena PPN, maka masyarakat akan mengurangi konsumsi, otomatis barang yang diperjual-belikan berkurang, pengusaha pun mengurangi produksi dan pendapatan mereka turun. Ekonomi turun juga. Efek ini yang kajiannya harus segera dipaparkan pemerintah ke publik dulu,” lanjutnya.

Agenda reformasi perpajakan yang selama ini rajin digaungkan pun menjadi sia-sia karena tidak akan pernah terimplementasi. Sebab, pemerintah justru sibuk mencari-cari pajak baru, bukan membenahi sistem yang selama ini kurang efektif.

Akibatnya, rasio pajak Indonesia belum tentu bisa naik dan akan tetap tertinggal bila dibandingkan negara-negara tetangga, seperti Malaysia dan Filipina.

Dampak lebih luasnya, Indonesia akan semakin tertinggal dan sulit naik kelas dari negara berpendapatan menengah (middle income country) menjadi negara maju (high income country).

Bhima memberikan gambaran dampak lain dari berbagai aturan pajak ini. Menurut dia, ketimpangan yang terlalu lebar justru bisa membuat orang kaya merasa tidak aman berbisnis dan tinggal di Indonesia.

“Orang kaya dapat penghasilan dari bisnis di indonesia yang notabene konsumennya kelas menengah dan bawah. Tetapi karena merasa tidak aman, akhirnya dana disimpan keluar negeri,” ungkapnya.

Hal ini nantinya juga tidak akan menggerakkan ekonomi di dalam negeri. Begitu pula dengan tax amnesty yang diberikan berkali-kali.

“Ini mengkhianati wajib pajak yang sudah bayar tebusan pada tax amnesty jilid I pada 2016,” pungkasnya. (***)

Komentar

Tinggalkan Komentar