OPINI
Oleh : Vega Adi Maulana (Taruna Politeknik Ilmu Pemasyarakatan)
Jakarta – Pungli, sebuah kata yang sangat melekat dalam dunia kerja yang bersinggungan dengan pelayanan public. Pungli atau istilah lainya uang sogokan, uang pelican, salam tempel dan lain-lain yang hakekatnya adalah interaksi antara petugas dengan masyarakat, didorong oleh berbagai kepentingan pribadi.
Diberbagai sector kerja khususnya dalam pelayanan public di pemerintahan, praktik pungli sangatlah sering terjadi dan seakan-akan sudah mengakar menjadi budaya organisasi.. Pungli menjadi masalah pelik yang dihadapi bangsa ini. Pungli merupakan permasalahan klasik yang ada sejak dahulu kala (Apriansyah, 2018). Ada beberapa faktor yang menyebabkan seseorang melakukan pungli, yaitu :1. Penyalahgunaan wewenang. Jabatan atau kewenangan seseorang dapat melakukan pelanggaran disiplin oleh oknum yang melakukan pungutan liar; 2. Faktor mental. Karakter atau kelakuan dari pada seseorang dalam bertindak dan mengontrol dirinya sendiri. 3. Faktor ekonomi. Penghasilan yang bisa dikatakan tidak mencukupi kebutuhan hidup tidak sebanding dengan tugas/jabatan yang diemban membuat seseorang terdorong untuk melakukan pungli. 4. Faktor kultural & budaya organisasi. Budaya yang terbentuk di suatu lembaga yang berjalan terus menerus menyebabkan pungli dan penyuapan menjadi hal biasa. 5. Terbatasnya sumber daya manusia. 6. Lemahnya sistem kontrol dan pengawasan oleh atasan/atasan membiarkan karena menjadi salah satu mata rantainya (Muchlisin Riadi, 2016).
Timbul permasalahan ketika membahas penangan perkara pungli dilihat dari aspek kemanfaatan, sebab pungli masuk pada bidang Tindak Pidana Korupsi disamping juga bisa dijerat pidana umum (Iswara, 2013). Belakangan ini praktik pungli yang terjadi tak bisa lepas dari hingar bingar kehidupan yang ada di lapas dan rutan, notabe merupakan instansi pemerintahan yang mengedepankan aspek pelayanan public. Baik pelayanan yang ditujukan kepada warga binaan maupun pada masyarakat umum yang hendak melakukan kunjungan pada lapas dan rutan. Praktik pungli yang terjadi pada lapas dan rutan biasanya lebih menyasar pada warga binaan yang ada di dalam. Praktik pungli yang dilakukan biasanya berupa permainan terhadap hak-hak warga binaan yang dilakukan oleh petugas.
Dalam hal ini terkadang pemenuhan hak-hak warga binaan dipermainkan oleh petugas dan dijadikan sumber penghasilan tambahan di luar gaji pokok yang dia dapatkan. Hak-hak warga binaan yang jelas-jelas tertuang di dalam undang-undang pemasyarakatan seperti remisi, CMB, CB, PB dan lainya dipermainkan dan dijadikan sebagai sumber penghasilan tambahan oleh oknum-oknum petugas yang bermain kotor sehingga mecederai nilai pelayanan public itu sendiri (Indra Jaya Ali, R. Madhakomala, 2019).
Padahal Peraturan perundang-undangan Indonesia telah memberikan landasan untuk penyelenggaraan pelayanan publik dengan mendasarkan pada asas-asas umum pemerintahan yang bersih dan baik (clean and good governance). Asas umum dimaksud adalah asas yang menjunjung tinggi norma kesusilaan, kepatutan dan norma hukum untuk menciptakan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) (Simatupang, 2019).
Namun faktanya, masih terdapat begitu banyak kasus praktik pungli yang terjadi disektor pelayanan public, khususnya pada lapas dan rutan. Sehingga tak ayal membuat pemerintah khususnya kementerian hukum dan ham sebagai instansi induk yang menaungi pemasyarakatan gencar melakukan berbagai upaya untuk menangani permasalahan ini. Dan yang terbaru upaya yang dilakukan kemenkumham adalah dengan menerapkan suatu kebijakan yang bertujuan untuk menutup celah yang akan memberikan kemungkinan praktik pungli ini terjadi.
Upaya yang dilakukan saat ini adalah dengan melakukan revolusi digital pelayanan public oleh jajaran kemenkumham. Lantas sebenarnya apa itu revolusi digital pelayanan public? Dan bagaimana pengaruhnya terhadap upaya pemerintah dalam memerangi praktik pungli yang ada pada lapas dan rutan?
Revolusi digital sendiri merupakan pemanfaatan dan pendayagunaan teknologi komunikasi dan informasi dalam rangka untuk mencapai tujuan antara lain: (1) meningkatkan efesiensi kepemerintahan; (2) memberikan berbagai jasa pelayanan kepada masyarakat secara lebih baik; (3) memberikan akses informasi kepada publik secara luas; dan (4) menjadikan penyelenggaraan pemerintahan lebih bertanggung jawab dan transparansi kepada masyarakat (WIENARNI, 2019).
Revolusi digital kemenkumham hadir sebagai wujud komitmen pemerintah dalam meningkatkan kualitas pelayanan public serta digagas sebagai upaya untuk menutup celah potensi adanya penyalahgunaan dalam proses pelayanan publik yang dilakukan oleh petugas khususnya dalam lingkup lapas dan rutan. Dimana kita ketahui, pelaksanaan layanan public yang dilakukan pada lapas dan rutan sangatkah rentan untuk menimbulkan penyelewengan jika masih dilakukan secara konvensional. Sehingga perlu adanya pembaharuan metode layanan public menuju pelayanan yang lebih efektif, efisien, cepat dan akurat.
Kerentanan itu didasarkan pada besarnya peluang untuk terjadinya permainan jual beli hak integrasi warga binaan baik itu berupa remisi, PB, CB CMB yang dilakukan oleh petugas jikalau proses dalam melakukan pelayanannya masih menggunakan metode konvensional dan belum terintegrasi dengan teknologi. Karena dikhawatirkan proses pelayanan yang masih konvensional dan belum menerapkan digitalisasi dalam pelaksanaanya akan cenderung kurang transparan dan dapat menimbulkan celah yang bisa dimanfaatkan oleh petugas untuk bermain kotor di dalamnya. Implementasi revolusi digital ini juga merupakan gambaran nyata komitmen kemenkumham dalam menindaklanjuti isi dari Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2016 Tentang Gerakan Nasional Revolusi Mental pada point gerakan Indonesia melayani.
Yang menitik beratkan pada penyempurnaan standar pelayanan dan sistem pelayanan yang inovatif (e-government). Selain itu, penerapan revolusi digital kemenkumham ini juga dapat dijadikan wujud nyata gambaran komitmen kemenkumham untuk mewujudkan pelayanan publik yang prima. Di mana pelayananya bukan sekedar mengikuti trend global saja. Melainkan diarahkan untuk mewujudkan good governance, yakni tata pemerintahan yang baik, transparansi serta akuntabilitas dalam proses pemerintahan. Penerapan teknologi informasi juga diharapkan mampu memberikan pelayanan yang efektif serta efisien terhadap masyarakat. Upaya transformasi pelayanan publik ke arah digital ini juga ditujukan untuk mempercepat dan memudahkan pelayanan serta mencegah penyelewengan yang dilakukan oleh petugas, khususnya yang ada pada lapas dan rutan.
Dengan begitu diharapkan implementasi revolusi digital pelayanan publik kemenkumham dapat menjadi ujung tombak bagi pemasyarakatan dalam memerangi maraknya praktik pungli yang terjadi selama ini, dan revolusi digital ini juga dapat membantu pemasyarakatan untuk dapat mewujudkan peningkatan perilaku pelayanan publik yang cepat, transparan, akuntabel, dan responsive. (RedG/opini)