oleh

“Gerakan Mendukung Koruptor”, Gerakan Keblinger

Penulis : Anisitus Amanat Gaham, SH, Sp.N

(Notaris PPAT di Kab Kendal, Wilayah Jabatan/Kerja Provinsi Jawa Tengan, Pengamat Fenomena Kehidupan Berhukum Masyarakat, tinggalal di Kota Semarang, ibu kota Provinsi Jawa Tengah.)

 

Kendal – Pada tahap awal era reformasi di Indonesia, mayoritas masyarakat Indonesia mendesak pemerintah reformasi untuk memberantas korupsi  secara terencana, sistematis dan masive.

Menanggapi tuntutan mayoritas masyarakat tersebut, pemerintah reformasi mempersiapkan regulasi khusus untuk mendukung berbagai upaya memberantas korupsi sesuai tuntutan mayoritas masyarakat.

Reaksi tak terduga justru datang dari sebagian masyarakat yang ternyata bukannya mendukung pemerintah memberantas tindak pidana korupsi melainkan mendukung koruptor yang sudah terbukti dan dinyatakan tersangka, ditahan, diadili dan dinyatakan terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara sampai puluhan juta, ratusan juta, puluhan miliar, ratusan miliar dan paling terkini sampai triliunan rupiah dalam berbagai bentuk kegiatan yang sesuai aturan hukum maupun yang menyimping dari mekanisme yang sudah diatur dalam regulasi.

Berbagai variabel yang dapat diungkapkan di sini sebagai faktor pemicu semangat kelompok tertentu masyarakat Indonesia mendukung koruptor sebagai berikut;

1. Ada hubungan keluarga, pertemanan atau persahabatan sebagai sesama profesi dengan sang koruptor;
2. Ada hubungan kerja sebagai bawahan dari sang koruptor;
3. Punya akses ekonomi atau penghasilan material tertentu dengan sang koruptor, sehingga dengan ditindaknya sang koruptor memberi dampak langsung terhadap putusnya hubungan ekonomi atau keuangan dengan sipendukung yang efeknya tentu sangat merugikan dari segi penghasilan harian atau bulanan rumah tangga sang pendukung. Efek lebih serius tentu kehidupan rumah tangga berantakkan sampai ambyar sama sekali. Pendidikan dan perlindunggan anak-anak juga berantakan dan lain sebagainya.
4. Sama-sama berasal dari satu suku, satu daerah, satu aliran keyakinan, satu aliran politik dan aliran-aliran sosial kemasyarakatan lain yang sama dengan sang koruptor.

Baca Juga  Bisnis Dimasa Pandemi Corona, Kreativitas Sangat Dituntut 

Fakta-fakta resistensi sosiologis tersebut di atas ada yang diresponse sesuai aturan hukum oleh negara cq. Aparatur penegak hukum tetapi ada pula sebagian yang diresponse secara melawan hukum atau kekerasan yang mengakibatkan negara juga harus memberi sanksi hukuman yang setara kepada aparat penegak hukum yang terbukti menyimpang dari mekanisme.

Dari segelintir ulasan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa semua kebijakan penegakan hukum yang dijalankan negara senantiasa menghasilkan pedang bermata tiga. Pertama berhasil penuhi tujuan yang sudah direncanakan. Kedua, ada saja kemungkinan untuk disahgunakan secara sengaja atau tidak sengaja oleh petugas lapangan yang harus diberi efek jera juga oleh negara demi ada keseimbangan. Dan ketiga ada juga segelintir minoritas masyarakat yang tidak sependapat dengan negara.

Intisari kebijakan hukum berdemokrasi dari negara adalah untuk menegakan keadilan demi kepentingan mayoritas meski ada minoritas merasa tidak adil tetapi tujuan hukum berdemokrasi sudah terpenuhi.

Tulisan ini sebatas memberi pemahaman bahwa semua tindakan atau kebijakan negara untuk kepentingan negara selalu ada yang pro dan ada juga yang kontra dan ini sudah lama diberi info oleh teori hukum kebijakan publik yang mengatakan bahwa semua kebijakan negara ditelurkan untuk penuhi kebutuhan mayoritas saja sehingga masih ada kepentingan minoritas yang tidak tercover. (RedG)

 

Komentar

Tinggalkan Komentar