oleh

Ganti TNI Menjadi Angkatan Perang, Terkuak Dalam Diskusi Arah Kemandirian Pertahanan

JAKARTA – Masalah pengadaan dan pengembangan alat utama sistem senjata (alutsista) bisa berjalan dengan baik maka disarankan  agar dua institusi di Kemenhan agar dimerger. Badan Sarana Pertahanan (Baranahan) dan Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kemenhan disatukan menjadi satu organisasi. Saat ini, jabatan Kepala Baranahan dan Kepala Balitbang Kemenhan dijabat oleh perwira tinggi (pati) bintang dua.

Hal ini diungkapkan oleh mantan Sekretaris Jenderal Kementerian Pertahanan (Kemenhan), Laksamana Madya (Purn) Agus Setiadji.

“Baranahan dan Balitbang digabung sama seperti di Korsel dan Cina, dipimpin oleh bintang tiga,” kata Agus saat peluncuran buku ‘Arah Kemandirian Pertahanan’ di Hotel Borobudur, Jakarta, Selasa (14/12),

Agus juga menyinggung posisi Kepala Bidang (Kabid) Matra Pengadaan Kemenhan yang dipimpin Kolonel. Menurut dia, jabatan tersebut sangat tidak efektif karena Kolonel harus berurusan masalah pengadaan dengan kepala staf matra masing-masing. Hal itu menjadi tidak sinkron sehingga sebaiknya jabatan Kabid Matra dilebur saja menjadi satu agar koordinasi pengadaan dengan kepala staf bisa berjalan dengan baik.

Bahkan, Agus mengusulkan, organisasi baru yang mengurus tentang pengadaan hasil merger di Kemenhan bisa diisi dengan pejabat sipil.

“Saya sarankan penggabungan organisasi, antara sipil dan militer, dan Bappenas ada di situ, ada staf dan lainnya,” kata mantan Kepala Baranahan Kemenhan tersebut.

Dia juga menyarankan agar industri pertahanan yang memiliki produk sejenis dimerger saja agar menjadi perusahaan besar. Misalnya, PT PAL dilebur bersama PT Dok dan Perkapalan dan PT LEN Industri digabung dengan PT INTI.

“Jadi merger perusahaan besar, untuk kendalikan industri pertahanan untuk menjadi industri yang maju,” kata Agus.

Menurut Agus, sebaiknya juga ada perusahaan industri pertahanan milik BUMN yang melantai di bursa saham yang sudah dilakukan beberapa negara. Hanya saja, syarat perusahaan yang sahamnya dilepas ke publik mayoritas tetap dikuasai pemerintah.

Baca Juga  Di Bulan Suci, Polres Kerinci Kembali Lakukan Bagi Takjil 

“Seperti di Cina dan Korsel. Kita tak ada lagi dikotomi militer dan sipil, karena teknologi isinya sama,” ucap Agus.

Analis pertahanan Connie Rahakundini Bakrie mengusulkan agar nama Tentara Nasional Indonesia (TNI) diganti saja menjadi angkatan perang. Hal itu sesuai dengan sejarah nama angkatan perang pada era Presiden Sukarno.

“TNI hanya jago kandang, maaf Pak, tapi TNI memang jago kandang. Harus kembali ke angkatan perang, harus punya angkatan laut, angkaan udara, dan angkatan darat perang,” ucap Connie dengan tegas.

Connie menyebut, Indonesia dikelilingi oleh jalur laut yang sibuk dan berfungsi sebagai pintu gerbang maritim bagi arus perdagangan internasional yang vital melalui dua samudera. Karena masa depan akan membawa tantangan yang lebih berat bagi angkatan perang Republik Indonesia, sambung dia, harus dapat memastikan bahwa domain maritim, dirgantara, dan ruang angkasa dengan perluasan kepentingan nasional Indonesia dapat tetap terlindungi.

“Kita dapat memastikan bahwa perang (termasuk di Laut Cina Selatan) akan terus terjadi. Tidak mungkin negara produsen senjata rela berhenti berproduksi sehingga berakibat pada setengah pendapatan ekonomi negaranya,” kata Connie. (RedG)

  • Penulis : Warsito H
  • Editor : Sarwo Edy

 

Komentar

Tinggalkan Komentar