Pemalang– Dewan Harian Cabang (DHC) Badan Pembudayaan Kejuangan 45 Kabupaten Pemalang saat ini dalam proses pembuatan “Tugu Pertempuran Monumen Perjuangan” serta menerbitkan buku dengan judul “Pertempuran di Dukuh Waryan, Desa Karangsari, Kecamatan Pulosari, Kabupaten Pemalang”.
“(Monumen dan buku) Mengungkapkan sejarah penyerangan Belanda terhadap pengungsi dan pejuang Kemerdekaan yang akan Kembali ke Kantong-kantong daerah asalnya, yang di kawal dan di jaga oleh Tentara Divisi Siliwangi dengan pasukan Srikandinya dari daerah Republik/Pengungsian Kabupaten Wonosobo dan Banjarnegara. Pada saat dilaksanakannya “Persetujuan Linggar Jati” dan “Persetujuan Renvile” yang sangat merugikan Republik dan menguntungkan Belanda” jelas H. Luruh Sayono, SH., Ketua DHC 45 Kabupaten Pemalang, Sabtu (6/8).
Dalam buku “Pertempuran di Dukuh Waryan, Desa Karangsari, Kecamatan Pulosari, Kabupaten Pemalang” ditulis mengenai perjuangan rakyat dan pemuda Pulosari. Sebelum meletusnya Agresi Militer 1 pada 21 Juli 1947, pada bulan yang sama Pemuda seluruh Wilayah Kecamatan Pulosari berhimpun dalam ‘Gerakan Pemuda Indonesia’ (Gerpindo)
Pada agresi militer Belanda 1, Gerpindo yang diketuai Sugirwo Pudjoutomo melakukan aksi untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Akhirnya pada tanggal 21 Juli 1947 Tentara Kolonial Belanda melakukan Agresinya yang pertama. Para pemuda yang bergabung dalam Gerpindo menghambat perjalanan Konvoi Tentara Belanda dengan jalan  merusak jembatan – jembatan dan membuat rintangan / barigade
Sepanjang jalan dari Desa Gambuhan, Siremeng, terus ke Gombong. Untuk mengantisipasi agar Tentara Belanda nantinya tidak bermarkas di Pulosari, maka pemuda-pemuda Kecamatan Pulosari mengadakan suatu aksi bumi hangus. Rumah rumah yang diperkirakan dapat untuk Markas Belanda semuanya di bakar.
Pada hari selasa kurang lebih jam 22.00 wib tanggal 27 Juli 1947, Agresi Belanda ke-I masuk wilayah Kecamatan Pulosari yaitu Desa Gambuhan. Belanda datang dari arah Kecamatan Bojong/Tegal dengan kendaraan perang lengkap dengan persenjataannya. Siang dan malam Tentara Belanda mengadakan Konvoi menuju ke selatan dan setiap kendaraan tersebut bertuliskan NAAR DJOKYA / Ke Djokya.
Di Desa Karangsari Barat Konvoi kendaraan perang Tentara Belanda terhenti, karena jembatan sungai Paingan telah dirusak oleh pemuda-pemuda Desa Karangsari dan sekitarnya.
Setelah jembatan dapat diperbaiki, maka Konvoi Tentara Belanda tersebut meneruskan perjalanan lewat Desa Karangsari, karena jalan dari Desa Karangsari menuju ke Desa Pulosari jembatannya telah di RUSAK keseluruhannya (8 buah jembatan besar), maka Tentara Belanda merubah arah dari Desa Karangsari membelok ke utara lewat Desa Sima / Kecamatan Moga Desa Banyumudal, Desa Pulosari, Desa Pagenteran, Desa Siremeng, Desa Gombong Kecamatan Belik, terus langsung menuju ke Purwokerto.
Di Dukuh Karangpoh Desa Pulosari perbatasan Kecamatan Moga dan Kecamatan Pulosari pada tanggal 29 Juli 1949 malam, sebuah kendaraan Tank Tentara Belanda hangus terbakar karena terkena ranjau yang di pasang oleh pemuda-pemuda Kecamatan Pulosari dengan maksud untuk menghambat konvoi Tentara Belanda.
Pada waktu itu Pemuda pemuda bermarkas di Dukuh Tumbu Desa Pulosari di rumahnya Sdr. Djaja Darim.
Pemuda-pemuda tersebut merencanakan akan memasang ranjau di jembatan Sungai Comal yang berada di Desa Tegalharja, Kecamatan Moga, Ranjau tersebut di bersihkan, demikian juga diktonatornya di ambil untuk di bersihkan.
Di sampingnya ada seorang pemuda yang melihat yaitu Sdr. Tochid alias Sunaryo. Malang baginya, diktonator yang sedang di bersihkan meledak Sdr. Abdul Jalil yang sedang membersihkan tangannya terputus dan Sdr. Tochid alias Sunaryo yang sedang melihat terkena serpihan tepat di matanya.Sehingga sampai sekarang mata yang satu menjadi buta dan telinganya menjadi tuli.
Pada awal Bulan Agustus 1947, Randudongkal di duduki Tentara Belanda dan bermarkas di rumah yang sekarang menjadi kediaman Dokter (barat Polsek Randudongkal).
Pada tanggal 7 Agustus 1947 dengan semangat yang tinggi dan bersenjata apa adanya ( 1 buah MP, 1 buah stan gun, 2 buah karaben dan beberapa buah granat serta senjata tajam pedang,keris,bambu runcing dan lain-lain) dengan kekuatan satu kompi,pemuda-pemuda Kecamatan Pulosari yang dipimpin oleh Sdr. Slamet (sekarang Purnawirawan Brigadir Mobil di Kediri) menyerang kedudukan Belanda yang bermarkas di Randu dongkal.
Penyerangan ke markas Belanda di Randudongkal tidak membawa hasil, sebab mata-mata Belanda sudah mencium rencana kita.
Akibatnya Tentara Belanda menyerang balik kepada pemuda pemuda kita yang menghadang di Desa Mejagong,sehingga 3 orang pemuda kita yaitu Sdr. Kislam,Sdr. Sarnadi, dari Pulosari dan Sdr Warnadi dari Karangsari gugur, dan yang 2 orang pemuda lagi yaitu Sdr Munadjad alias Munadi dan Sdr Sudri terluka kena peluru Belanda.
Sdr Sudri dapat sembuh sedangkan Sdr. Munadjad alias Munadi cidera kaki kanannya, sehingga kalau berjalan harus ditopang dengan tongkat.
Tentara Kolonial Belanda mengetahui bahwa penyerangan ke Markas belanda di Randudongkal itu di lakukan oleh pemuda-pemuda Kecamatan Pulosari karena di ketahui oleh mata – mata /antek-antek Belanda.
Selanjutnya Tentara Kolonial Belanda mengadakan operasi pemuda Kecamatan Pulosari dan pengejaran pemuda sekitarnya, sehingga sejumlah 21 orang pemuda tertangkap dan ditawan dalam sebuah penjara bekas rumah sakit di Moga (Selatan pemandian).
Setelah beberapa hari 21 orang pemuda meringkuk dalam sel tahanan, yang sebetulnya pada keesokan harinya akan di bunuh, kebetulan ada seorang pemuda Dukuh Karangpoh, Desa Pulosari yang bernama Sdr. Wangsakaslam berusaha mencari akal dapatnya keluar dari sel tahanan tersebut.
Sdr. Wangsakaslam menemukan sebuah paku /pasak agak besar di tembok dan di ambilnya. Kemudian paku / pasak tersebut digunakan untuk alat mengebor tembok rumah tahanan.Usahanya tidak sia-sia, tembok dapat berlubang yang kemudian di perlebar untuk jalan melarikan diri, sehingga 18 orang pemuda dapat keluar dari tahanan dan melarikan diri dengan selamat.
Sedangkan 3 pemuda yang terluka dan tidak di ketahui dari mana asalnya / tempat tinggalnya terpaksa di tinggalkan yang pada esok harinya oleh Belanda di bunuh.
Untuk melebarkan sayap daerah operasi Tentara Belanda menduduki Kecamatan Moga, sehingga untuk patroli ke wilayah Kecamatan Pulosari dapat di lakukan secara terus menerus sampai ke tepi hutan lereng Gunung Slamet.
Dengan larinya 18 pemuda tersebut dari penjara di Moga, Belanda mengadakan pengejaran ke Pulosari yang kebetulan waktu itu di Desa Pulosari sedang pasaran. Di pasar Pulosari Belanda mengetahui ada pemuda di pasar lalu mengadakan operasi, namun pemuda tesebut melarikan diri dan Belanda mengobral tembakan di pasar. Tembakan tersebut mengenai seorang penjual sirih /kinang di lengan tangan yaitu Mbok Damad penduduk Desa Pulosari.
Namun demikian pemuda-pemuda Kecamatan Pulosari dan Kecamatan Moga yang bergabung menjadi satu tidak pernah patah semangatnya. Setiap Tentara Belanda mengadakan patroli tentu di adakan penghadangan dengan melemparkan granat, meskipun granat tersebut tidak meletus / meledak, sehingga mengakibatkan Tentara Belanda semakin ganas,dan Tentara Belanda mendesak terus ke wilayah Kecamatan Pulosari Selatan sampai ke Dukuh Cemara- Desa Batursari, yaitu Dukuh / Dusun yang sudah berada di tepi hutan Gunung Slamet.
Dari mereka yang berada di Kecamatan Belik partolinya juga sampai Desa Clekatakan, Desa Pratin Kecamatan Karangreja. Di Desa Pratin juga sering sekali diadakan penghadangan oleh pemuda. Salah seorang pemuda dari Desa Siremeng-Kecamatan Pulosari bernama Ilyas yang berpos di Dukuh Mayem Desa Clekatakan mengikuti penghadangan partoli Belanda di Desa Pratin Kecamatan Karangreja dan kebetulan ada patroli Belanda dari Markas Belik,maka terjadi baku tembak dan Sdr. Ilyas tertembak meninggal dunia / gugur.
Patroli Tentara Belanda adalah untuk menghadang para pengungsi serta para pejuang dari Jawa Barat yang akan mengungsi menuju daerah Republik Wonosobo dan Jogyakarta.
Pada jalan simpang tiga dekat lapangan Desa Batursari, Tentara Belanda selalu mengadakan penghadangan-penghadangan, sehingga tidak sedikit para pengungsi dan pejuang kita yang datang dari daerah Jawa Barat menjadi korban kekejaman Tentara Belanda. Di lapangan Desa Batursari sebelah barat, di kubur korban tentara kita yang dari Jawa Barat, dan sekarang telah di pindahkan ke Taman Pahlawan Penggarit Pemalang.
Tidak menutup fakta di Kecamatan Pulosari pun ada orang yang menjadi antek Belanda yang lebih kejam, yang bertugas untuk mengawasi serta memata-matai para gerilya kita yang berada di wilayah kecamatan Pulosari. Orang tersebut antara lain Sdr. Suwarmo, telah mati di bunuh oleh pemuda-pemuda kita dengan cara dikubur hidup-hidup karena dibunuh dengan senjata tajam tidak mempan/kebal senjata.
Sdr. Suwarmo ini pemuda asal Desa Clekatakan yang sangat dipercaya oleh Belanda, sehingga dia mendapatkan fasilitas rumahnya di pasang pesawat telepon agar cepat hubungannya dengan Belanda, dan sepucuk senjata pistol, fasilitas tersebut dapat dirampas oleh pemuda kita.
Di Desa Pulosari Sdr. Sutoyo (telah mati ) Pegawai Pamong Praja berpangkat Kepala Agen Polisi atau Breiden juga menjadi antek Belanda yang kerjanya mengawasi dan melaporkan para pemuda gerilya kita kepada Belanda.
Dengan adanya orang-orang Kecamatan Pulosari yang menjadi antek Belanda tersebut, maka para Tokoh pejuang dan dan pemuda pejuang banyak yang ikut mengungsi / evakuasi ke Wonosobo, Penulis sendiri juga ikut evakuasi ke Wonosobo dengan semua keluarga.
Perlu kami tambahkan di sini, bahwa pemuda pemuda Kecamatan Pulosari tidak hanya berjuang di wilayahnya sendiri saja, tetapi juga ke wilayah tetangga, seperti pada awal Belanda datang pemuda Pulosari bergerak ke wilayah Moga untuk membumi hanguskan Pabrik Teh Semugih milik belanda serta rumah / pendopo Kecamatan Moga, tetapi pendopo Kecamatan Moga tidak dapat terbakar.
AGRESI BELANDA KE II
Pada tanggal 21 Desember 1948 Tentara Belanda mengadakan operasinya yang ke II dan menyerang daerah- daerah Republik Indonesia, maka Panglima Tentara kita memerintahkan agar para pejuang dan Tentara Republik Indonesia kembali ke daerah kantongnya masing-masing.
Ibarat semut rangrang yang di rusak sarangnya, Tentara Republik Indonesia dan para pejuang pulang untuk memasuki daerah kantong masing-masing dan bergabung dalam Pemerintah Militer Kecamatan / BODM (Bintara Onder Distrik Militer).
Sewaktu tentara kita dari Siliwangi akan pulang menuju daerah Jawa Barat dan memasuki daerah perbatasan antara Kabupaten Pemalang dan Kabupaten Purbalingga / Kecamatan Karangreja sekitar bulan Januari 1949 di Desa Pratin terjadilah pertempuran hebat antara Pasukan Siliwangi dengan Tentara Belanda, sehingga banyak memakan korban, namun Tentara Belanda dapat dihancurkan.
Belanda memang licik dan bengis, tepatnya jam 07.00 wib pagi tanggal 2 Januari 1949 di mana pengungsi sudah siap mau melaksanakan perintah pulang ke daerah asal.
Pasukan Belanda menggempur Kota Wonosobo dan juga Banjarnegara disertai pengeboman oleh kapal udara militer Belanda yang waktu itu terkenal sebutan Cocor Merah,
Seluruh isi Kota Wonosobo gempar dan panik, mereka para pejuang berusaha menyelamatkan diri bombardir Tentara Belanda sehingga serentak penduduk Kota Wonosobo mengungsi ke luar kota menyelamatkan diri tidak terkecuali pengungsi yang sudah siap akan pulang ke daerahnya yang di kawal oleh Divisi Tentara Siliwangi, bergerak dengan jalan kaki menuju wilayah Karangkobar terletak di ujung timur Gunung Raga Jembangan sehingga hampir menjelang senja. Terus  menyusuri jalan yang dirasa aman terus masuk ke wilayah Kecamatan Kalibening (saat itu) sekarang menjadi Kecamatan Pandan arum (setelah adanya pemekaran) masuk ke Desa Lawen Kecamatan Kali Bening (dulu) dan di situ ada sebagian yang di arahkan menuju Kabupaten Purbalingga di pimpin oleh pejuang Bapak Sumardi. Pejuang dari Kecamatan Belik. Dan sebagian ke arah Pemalang dan sekitarnya yang di kawal oleh Tentara Divisi Siliwangi Jawa Barat melalui Pedukuhan dari Desa Lawen yang di kenal sebagai Dukuh KENDILWESI Desa Lawen Kecamatan Kalibening Kabupaten Banjarnegara, masuk ke Dukuh Bangsal Desa Tundagan Kecamatan Watukumpul Kabupaten Pemalang. Dari dukuh Bangsal, turunlah ke dukuh Sirongge lalu ke desa Bongas.
Ternyata bombardir Belanda tidak hanya di Wonosobo dan Banjarnegara, tetapi berdasarkan informasi dari Bapak Sumar Hendro Handoko yang berniat mau menyusul ngungsi ke Wonosobo, menyampaikan bahwa Kota Pekalongan dan Kota Tegal juga dibombardier Belanda sampai-sampai pusat Markas di Kota Pekalongan telah dibombardier Belanda sehingga Pusat Markas Angkatan Laut Karesidenan Pekalongan di pindah ke Desa Bongas Kecamatan Watukumpul dan semua pengungsi baik yang ke arah Purbalingga dan arah Pekalongan juga Pemalang dan Jawa Barat semuanya di tampung di Desa Bongas Kecamatan Watukumpul Kabupaten Pemalang.
Sehingga Desa Bongas berubah menjadi sangat ramai penuh sesak dengan para pejuang, tentara dan Pimpinan Pemerintahan Kabupaten Pemalang di desa tersebut.
Setelah situasi menjadikan Desa Bongas sebagai pusat berkumpulnya Pimpinan Pemerintahan, Tentara, Pejuang dan pengungsi maka diadakanlah rapat oleh Komandan Angkatan Laut Karisedenan Pekalongan Kapten KKO Ali Sadikin, diaturlah jalur pengalihan gerilya Tentara, Pejuang, Pengungsi sesuai amanat Pimpinan Tentara di Jogjakarta dengan adanya 3 (tiga) jalur arah, sebagai berikut :
- Jalur 1 (satu) : Menuju Pekalongan, ke Penisihan, Tlagasana, Kandang serang, Kajen, Wonopringgo Pekalongan.
- Jalur 2 (dua) : Bongas ke arah barat naik ke Tambi, Majakerta, turun ke Wisnu, Wanarata, Gunung Gajah, Kedung Banteng, Balamoa, Tegal.
- Jalur 3 (tiga): Bongas, Jojogan, Margalangu, desa Watukumpul, Majakerta, Dukuh Guci, Gunung Jaya, Mendelem, Beluk, Gombong, Siremeng, Pagentaran, Pulosari, Penakir, Gunungsari, Jurangmangu, Dukuh Waryan Karangsari, Gambuhan, Dukuh Gajahnguling, Kedawung, Dukuh Tengah, Kecamatam Bojong Kabupaten Tegal.
Pengawalan Tentara Divisi Siliwangi dan Pasukan Srikandi
Sebagaimana telah ditetapkannya jalur 3 (tiga) sebagai jalur pengawalan dan pengamanan oleh Tentara Divisi Siliwangi dan pasukan Srikandinya, terhadap pengungsi yang akan pulang ke daerah Jawa Barat (yang oleh masyarakat kecamatan Pulosari lebih dikenal dengan sebutan GERILYA).
Maka dari Desa Bongas yang saat itu menjadi desa yang semula sepi, menjadi ramai sekali, dibuktikan dengan penuhnya penduduk dan pengungsi, para pejuang dan tentara.
Sehingga menjadi hingar bingar dan penduduk aslinya merasa bangga serta menjadi semangat, melihat keberadaan Tentara Nasional Indonesia (TNI) beserta para pemuda, pejuang yang berada didesanya.
Timbul kegiatan sosial yang sangat hebat diluar dugaan, para ibu dan Pemuda, Remaja, di Desa Bongas sangat sibuk menyiapkan ransum seadanya berupa ubi kayu rebus, jagung rebus, nasi, nasi jagung, lauk pauk seadanya. Mereka bekerja dengan semangat melayani Para Pengungsi, para Pejuang yang ada didesanya.
Setelah semua dilayani dan mendapatkan perintah dari pimpinan Tentara, agar semua komandan pengawalan dan pengamanan Pengungsi jalur 3 (tiga) maka bergeraklah berangkat jalur 3 (tiga) dari bongas ke Desa Jojogan menuju ke Dusun Margalangu desa watukumpul, naik ke Barat ke Desa Majakerta atas sebelah barat Luk Pitu, dari situ masuk ke Dukuh Guci Desa Gunungjaya, dari Gunungjaya ke Desa Mendelem Dukuh Karanganyar terus ke barat turun ke Dukuh Bentar, Terus naik ke Dukuh Pondok Nangka Desa Beluk, sampai ke Gombong. Kiriman lalu ke Siremeng di teruskan ke Pagenteran, dari Pagenteran ke Pulosari Dukuh Tumbu, naik ke Penakir.
Dari Desa Penakir Dukuh Sawangan masuklah ke Desa Gunungsari sampailah di Dukuh Sibedil Desa Gunungsari walaupun sepanjang perjalanan rombongan gerilya tersebut mendapat pelayanan yang sangat baik dari penduduk desa yang dilaluinya dengan menyediakan tempat beristirahat dan makan dan tempat untuk tidur, bagi yang sakit ditampung di rumah penduduk sekitarnya dengan dilayani sebaik baiknya.
Pertempuran di Dukuh Waryan, Desa KarangsariÂÂ
Pada saat itu tepat hari Jumat tanggal 7 Januari 1949, Setelah beristirahat di Dukuh Sibedil, dan setelah sholat subuh Rombongan bergerak kearah Barat meneruskan perjalanan, tetapi Belanda sudah mencium adanya Rombongan GERILYA dan pengungsi yang dikawal oleh Tentara Divisi Siliwangi akan melintasi jalan di dukuh Waryan.
Hari Sabtu tanggal 8 Januari 1949 terjadi pertempuran di Dukuh Waryan, yaitu Dukuh yang terletak di perbatasan antara Desa Karangsari dan Desa Jurangmangu (lapangan Olahraga Desa Jurangmangu). Waktu itu pasukan Siliwangi dan pasukan Srikandinya serta pengungsi akan pulang ke daerah Jawa Barat. Rombongan di pimpin oleh Bapak Pudjadi, Perjalanan pulang, pasukan Siliwangi tersebut tercium oleh Tentara Belanda dan Tentara Belanda mengadakan pemusatan penghadangan untuk menyergap rombongan yang lewat dari timur.
Senjata berat Belanda ditempatkan di Desa Karangsari Barat/Simpang Tiga jurusan Jurangmangu.
Maka terjadilah pertempuran besar-besaran satu hari penuh pada tanggal tersebut di atas antara rombongan yang di kawal Pasukan Siliwangi, pasukan srikandinya dan dibantu Pasukan Laskar Pemuda GERPINDO Kecamatan Pulosari Barat di bawah Pimpinan Sdr. Sandi (alm) Karangsari di bantu oleh Sdr. Prakoso, Sdr. Supadmo, Sdr. Gunasuwito, dan Sdr. Junus. Pertempuran tersebut mengakibatkan banyak korban di kedua belah pihak. Sdr. Waluyo Karangsari anak buah Sdr. Sandi terkena tembakan pada pahanya, dan tertangkap di bawa ke kantor ID di Moga, namun dapat selamat.
Korban gugur 13 orang anggota Pasukan Siliwangi. Korban 10 orang di bawa pulang ke Jawa Barat, sedangkan yang 3 orang tertinggal di kubur di Dukuh Waryan. Kemudian oleh Pemerintah di pindahkan Ke Taman Makam Pahlawan Penggarit Pemalang.
Dari laskar pemuda dan rakyat yang menjadi korban juga cukup banyak.
Meriam belanda ikut membantu pertempuran, namun ditujukan ke Desa Gunungsari, sehingga Desa Gunungsari banyak rumah – rumah yang hancur terkena serangan mortir, karena Desa Gunungsari kebetulan ketempatan dapur umum pengungsi.
Denah pertempuran Dusun WaryanÂÂ
Ada 20 (dua puluh) anggota Laskar Gerpindo Kecamatan Pulosari yang ditawan Belanda dan dipenjarakan di Camp Nusakambangan.
Pemerintah Militer Kecamatan (PMKt), Bintara Onder Distrik Militer (BODM), terus berusaha mengadakan gerilya terhadap Belanda. Pada saat itu P M kt. / BODM yang pertama di bawah Pimpinan Bapak Sersan Nur Supmo, karena pengkhianatan antek Belanda, yaitu Sdr. Sugeng (anggota ID) Bapak Sersan Nur Supmo tertangkap oleh Tentara Belanda di Belik. Kemudian di bunuh oleh Tentara Belanda di Desa Siremeng Kecamatam Pulosari. Makam Bapak Sersan Nur Supmo sekarang telah di pindahkan ke Taman Makam Pahlawan Penggarit Pemalang. Sebagai pengganti Bapak Sersan Nur Supeno di percayakan kepada Bapak Serma A.B. Suthondo.
Markas P M Kt / D O D M yang semula di timur Desa Siremeng,kemudian di pindahkan ke Desa Gunungsari di bawah kepemimpinan Bapak Serma A.B Suthondo. P M Kt/BODM terus mengadakan aksi dengan melakukan perang gerilya terhadap Tentara Belanda.
Dengan semangat Juang yang tinggi, P M Kt / B O D M dapat berjalan lancar sampai dengan penyerahan Kedaulatan dari Pemerintah Belanda kepada Pemerintah REPUBLIK INDONESIA TANGGAL 27 DESEMBER 1949. (RedG)