oleh

Dugaan Hasil Korupsi Juliari Batubara Untuk Dana Kampanye Diberbagai Daerah

OPINI

Oleh: Diryo Suparto (Dosen Ilmu Komunikasi Politik Fakultas Fisip Universitas Pancasakti Tegal)

Tegal – Korupsi kejahatan ‘Kerah Putih’ yang menjijikkan dan mematikan. Dengan kekuasaan dan keserakahannya yang mampu mencekik leher simiskin yang seharusnya mendapat bantuan sosial.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terasa haram jika penyidikan kasus korupsi proyek bantuan sosial (Bansos) hanya pada mantan Menteri Sosial, Juliari Peter Batubara.

Tentunya aliran dana tersebut patut dicurigai tidak hanya dinikmati oleh mantan medsos dari partai besar di Indonesia. Beberapa bukti yang ada dan bukti-bukti yang ada menunjukan adanya perputaran “kepeng” ratusan miliar rupiah tidak dinikmatinya sendiri.

Disadur dari redaksi majalah Tempo, bahwa indikasi kuat sejumlah fungsionaris Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ikut menyalurkan duit haram itu untuk pemenangan beberapa calon dalam pemilihan kepala daerah yang baru usai.

Karena itu, penahanan Juliari pada 6 Desember lalu harus dijadikan pintu masuk untuk mengungkap lebar kasus korupsi dana bansos. KPK tidak boleh gentar, meski menganggap partai penguasa. Korupsi dana bantuan untuk masyarakat yang terempas krisis ekonomi akibat pandemi jelas merupakan kejahatan level tertinggi. Pelakunya tak hanya merugikan keuangan negara, tapi juga mengancam hidup banyak orang.

Tempo dalam editorialnya dengan gamblang menjelaskan, berdasar penyidikan sementara menemukan bukti bahwa Juliari telah menyelewengkan posisinya sebagai Menteri Sosial untuk memungut Rp 10 ribu dari setiap kemasan bantuan sosial korban pandemi di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Sebagian dana itu lalu digunakan untuk mendanai berbagai keperluannya, termasuk menyewa jet pribadi untuk melakukan kunjungan ke sejumlah daerah.

Sebagai mana diketahui, anggaran pemerintah untuk proyek bansos sebesar Rp 300 ribu per kemasan untuk 21,6 juta kemasan yang dibawa dalam 12 gelombang. Artinya, total nilai korupsi Menteri Sosial setidaknya Rp 216 miliar. Tapi, ada dugaan, korupsi Juliari sebenarnya lebih dahsyat.

Baca Juga  Ramadan Momen Emas Membangun Kekuatan Hubungan Sosial dan Spiritual

Dari berbagai sumber mengatakan bahwa nilai tiap kemasan bantuan sosial bisa jadi jauh lebih rendah dari Rp 300 ribu. Banyak penerima bantuan mengeluhkan buruknya kualitas beras, sarden, atau mi instan yang mereka terima. Biaya pembuatan tas bantuan yang dikerjakan salah satu pabrik garmen terbesar di Solo, Jawa Tengah, pun terlalu mahal.

Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan sempat menelusuri
kejanggalan-kejanggalan ini. Pengadaan bansos berbentuk barang pada masa krisis memang rentan dikorupsi.

Banyak aktivis antikorupsi sudah mengingatkan pemerintah sejak awal. Kondisi pandemi yang serba darurat dimanfaatkan Juliari dan kelompoknya untuk berbagi-bagi jatah. Bukan hanya di hilir, dalam proses pengadaan bansos pun
sejumlah perusahaan kepanjangan tangan politikus turut bermain. Ada kesaksian yang menyebutkan nama sejumlah elite PDIP yang menitipkan perusahaan tertentu agar mendapat jatah proyek. KPK harus menelusuri semua petunjuk itu.

Masyarakat Indonesia tentunya terperanjat, dimana Menteri yang semestinya menjadi tumpuan orang-orang miskin nan papa justru mengkhianati warga yang seharusnya dia lindungi. Apalagi Juliari berasal dari PDIP, partai politik yang selalu mengklaim sebagai “partai wong cilik”.

Apakah kesempatan yang digunakan oleh Juliari dengan antek-anteknya berdiri sendiri? Suatu pertanyaan yang bisa dijawab dengan menarik peristiwa ketika revisi Undang-Undang KPK setahun lalu, yang jelas-jelas memereteli sejumlah kewenangan lembaga itu disahkan. Presiden telah memberi sinyal
terang benderang ke pelosok negeri. Dia menegaskan bahwa penindakan keras terhadap korupsi adalah pengganggu pembangunan.

Apalagi, setelah pandemi, Jokowi mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang berisi klausul perlindungan bagi pejabat. Aturan yang kemudian disetujui Dewan Perwakilan Rakyat itu menegaskan bahwa pejabat tidak bisa dituntut hukum, baik secara pidana maupun perdata, saat bekerja mengatasi wabah Covid-19. Semua kebijakan Jokowi itu, sedikit banyak, mendorong Juliari dan bisa jadi pejabat lain untuk ramai-ramai menggarong anggaran negara.

Baca Juga  Masihkah Komunikasi Efektif yang Humanis Diperlukan ?

Karena itulah berbagai tanda ketidakberesan penyaluran bantuan sosial seolah-olah diabaikan begitu saja. Sistem pencegahan korupsi di pemerintahan tak berjalan. Publik patut mengapresiasi kerja keras penyidik komisi antikorupsi yang
telaten mengumpulkan bukti demi bukti yang berujung pada penahanan Juliari.

Tentunya kerja keras ini belumlah usai yang seharusnya para petinggi KPK mengalir aliran dana hasil korupsi dengan menggandeng Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan.

Bagaimana pun juga, rakyat boleh curiga akan adanya aliran dana tersebut masuk ke saku para elite partai karena ia menjadi wakil bendahara umum, dan itu harus
ditelusuri. Apalagi undang-undang antikorupsi mendukung penggunaan delik kejahatan korporasi. Sanksi bagi kejahatan level tertinggi ini harus
berlipat-lipat, termasuk bagi kelompok yang ikut menikmati hasilnya. (RedG / *)

 

Komentar

Tinggalkan Komentar