oleh

Dua Alasan Harus Bangga Jadi Warga NU

Temanggung – Warga Nahdlatul Ulama (NU) tidak boleh inferior, kecil hati, tidak bangga menjadi bagian dari warga NU. Namun warga NU harus bangga karena dua alasan besar. “Kenapa kita harus bangga dengan NU? Karena kita punya kebenaran. Apa kebenaran itu? Pertama adalah kebenaran dalam beragama, cara beragama, berislam,” ujar KH. Kholison Pengurus PWNU Jateng saat menjadi pembicara dalam Halalbihalal Keluarga Besar STAINU Temanggung, Sabtu (30/6/2018).

Kedua, kita punya kebenaran dalam bernegara. “Sebab, selama ini banyak negara hancur karena tidak punya kebenaran dan spirit bernegara,” lanjut dia dalam acara di lantai 3 STAINU Temanggung tersebut.

Menurutnya, NU merupakan organisasi Islam yang besar di Indonesia bahkan dunia yang mampu menyatukan spirit religiositas dan nasionalisme tanpa membenturkannya.

Kiai Kholison menjelaskan, kecilnya NU karena mereka (warga NU) tidak punya ideologi yang kuat. “Kebanggaan terhadap NU, jamiyah, kebanggaan terhadap kiai dan ulama NU adalah bentuk menjadi umat yang cinta agama dan negara,” lanjut dia.

Kuatnya NU tak cukup hanya lewat amaliyah, tradisi, tahlilan. Namun harus menyeluruh dari aspek akidah (keyakinan), fikrah (pemikiran), amaliyah (tradisi) dan harakah (gerakan).

NU akan kuat jika memegang teguh kebenaran dalam beragama dan bernegara yang di dalamnya terdiri atas berbagai aspek. “Kita harus punya dua hal ini sesuai imam akbar, Imam Syafii dan tiga lainnya, yang diikuti kiai-kiai NU,” beber dia.

Dijelaskannya, kehebatan Imam Syafii mampu menggabungkan syariat dan akal. “Maka munculllah ushul fikih sebagai produk penggabungan syariat dan akal. Praktisnya, kamu tidak bisa shalat kalau pegangan Alquran dan Hadist saja. Apa syaratnya, rukunnya, cara rukuknya, itu tidak ada detail di Alquran maka di situlah pentingnya ushul fikih yang disusun dalam metodologi beribadah kala itu,” lanjut dia.

Baca Juga  SMPN 1 Pemalang, Peduli Banjir di Kaliprau, Ulujami

Kalau di NU, kata dia, ya wajib mempercayai mazhab empat, Imam Syafii, Maliki, Hanafi, Hambali.

Tapi kalau dalam bertauhid, lanjutnya, kita bisa menganut Imam Junaid Al-bagdadi, dan Imam Abu Hasan Al-asyari mantan Mutazilah yang mampu menggabungkan syariat dan akal. “Beliaulah yang merumuskan aqaid 50, sifat-sifat Allah yang kita jaga dan dilestarikan,” lanjut dia.

Contoh wujud, katanya, Anda cari saja di Alquran tidak ada. “Adanya salah satunya Allah alimun, basyirun. Itulah gagasan hebat Abu Hasan Al-asyari yang berani meletakkan sifat Allah yang pertama itu wujud,” beber dia.

Kalau dalam bertasawuf, NU menganut Imam Al-gazhali. “Beliau mampu menggabungkan antara syariat dan halikat. Jadi jari orang Islam itu nggak usah galak-galak, nggak perlu pakai jubah karena Islam itu bukan bungkus,” beber dia.

Dalam konsep bernegara, kita menganut Hadratus Syekh KH. Hasyim Asyari yang mampu menggabungkan syariat dan nasionalisme, spirit kebangsaan dengan jargon hubbul wathan minal iman. “Ini bukan hadis, tapi konsep ijtihad yang dicetuskan NU untuk menggabungkan syariat dan spirit bernegara,” tegas dia.

Kalau bernegara hanya menggunakan syariat saja, menurutnya akan hancur seperti di Timur Tengah. “Afganistan remuk, masjid dibom, itu perang Islam lawan Islam. Syuriah, Irak, di Mesir belum ada seratus tahun, ada ratusan orang terbunuh saat salat di masjid,” beber dia.

Di Indonesia, katanya, karena mampu menggabungkan spirit beragama dengan syariat dan bernegara dengan konsep hubbul wathan minal iman, maka tidak akan ada masjid dibom. “Paling-paling kejahatan di masjid ya nyolong sendal dan kotak amal,” beber dia.

Dilanjutkannya, itulah bukti nyata, NU tidak pernah khianat pada Islam, NKRI karena mampu menjaga syariat dan spirit bernegara yang bisa sejalan tanpa harus dipisahkan. Apalagi, konsep itu muncul sebagai bagian dari perlawanan NU terhadap penjajah pasca Indonesia merdeka. (RedG Ibda).

Komentar

Tinggalkan Komentar