Penulis : Naila Azalia Bahri, mahasiswi aktif jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.ÂÂ
Jakarta – Era kepemimpinan Suharto (1966-1998), biasa disebut Orde Baru, dalam otoritas publik melalui Kantor Kabag Hukum melarang beberapa buku ilmiah untuk diklaim, disingkirkan, dilingkari, dan dibaca.
Buku-buku yang dilarang ini ada kaitannya dengan para penulis Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), yang oleh kalangan penguasa saat itu dianggap berasosiasi dengan PKI. Paguyuban sosial ini didirikan oleh D.N. Aidit, M.S. Ashar, A.S. Dharta dan Njoto pada tanggal 17 Agustus 1950. Lekra memiliki individu-individu yang mendasarinya terdiri dari A.S. Dharta, M.S. Ashar, Njoto, Henk Ngantung, Sudharnoto, Herman Arjuno, dan Joebar Ajoeb.
Latihan sosial Lekra terus dilakukan dengan pepatah “Seni untuk rakyat” dan “Seni untuk Revolusi”. Lekra seolah-olah mencegah jatuhnya kemarahan yang dipaksakan pada pembuat undang-undang, namun berubah menjadi kewajiban buruh sosial. Lekra didirikan untuk menghimpun kekuatan-kekuatan yang setia membantu Pergolakan dan Budaya Publik.
Lekra menggambarkan dirinya sebagai wadah bagi pekerja sosial individu, yang semuanya bersatu di dalamnya terhadap keyakinan cara hidup individu yang menuntut kebebasan dan kekuasaan. Bagi Lekra, pekerja kebudayaan bukanlah pengrajin atau peneliti yang melepaskan diri dari kehidupan individu dan tidak peduli dengan masalah kehidupan individu. Lekra tidak berpendapat bahwa kehidupan sosial harus ditindas oleh kota-kota besar, yang secara tidak langsung merupakan kelanjutan dari perusahaan swasta yang tidak dikenal dan sisa-sisa feodalisme penduduk setempat.
Lekra, Pengrajin PejuangÂÂ
Setelah Gerakan 30 September, berbagai jenis pemurnian terjadi di arena publik, mengingat pembersihan untuk bidang sosial. Lekra merupakan salah satu perkumpulan yang terkait dengan menawarkan bantuan kepada PKI dalam pelaksanaan Momen Gerakan 30 September. Dalam kegiatannya, Lembaga Kebudayaan Rakyat tidak pernah lepas dari kehidupan politik. Pengrajin politik menyerupai mengatur kebebasan dan komitmen pengerjaan, bangkit dan membantu negara dan kerabatnya setiap kali diambil oleh negara yang berbeda. Spesialis Lembaga Kebudayaan Rakyat menyebut diri mereka pengrajin pejuang, pengrajin yang menentang semua jenis ketidakadilan.
Lekra tidak bisa dianggap bersih dari PKI, namun bukan berarti terpaku pada PKI. Kesamaan penilaian antara Lembaga Kebudayaan Rakyat dan PKI menempatkan Lekra pada posisi anak perusahaan. Misalnya, karya perajin dari Lembaga Kebudayaan Rakyat sering dimuat di koran Harian Rakyat PKI. Padahal, Lembaga Kebudayaan Rakyat menawarkan bantuan untuk pengembangan komprehensif PKI, seperti jalan-jalan massal dan kongres.
Kegiatan utama pemboikotan buku dilakukan oleh Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan pada tanggal 30 November 1965. Pemanfaatan buku-buku pelajaran dari individu-individu dari PKI dan lainnya sempat terhambat atau dibatasi. Sementara buku-buku yang disusun oleh suatu kelompok tetapi sebagian dari kelompok tersebut bukan merupakan orang-orang dari Ormas/Orpol, maka pada saat itu, buku tersebut boleh saja terus digunakan setelah ditelusuri isinya dan tidak ditunjukkan untuk diperjuangkan Pancasila.
Instruksi Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan, menerangkan:
Masing-masing Kepala Perwakilan Departemen Pendidikan Dasar dan Kebudayaan atau kepala Direktorat/Lembaga/Biro bersama-sama dengan instansi-instansi dibawahnya mempunyai wewenang untuk meneliti buku-buku yang sekarang sedang dipergunakan untuk meninjau indikasi keterlibatan penulisnya, supaya dapat melengkapi daftar lampiran buku-buku/oknum yang dilarang di masyarakat hasil kajian yang dilakukan, dan menyampaikan dilaporkan secara tertulis kepada Pembantu Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan dengan tembusan laporan ke semua Pembantu Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan, Biro Pembinaan Buku PKK dan Biro Perpustakaan.
ÂÂ
Buku-buku Lembaga Kebudayaan Rakyat yang Dilarang dalam kategori Novel/kumpulan Cerita pendek.
- Pramoedya Ananta Toer
- Perburuan Korupsi
- Subuh Gulat di Djakarta
- Keluarga Gerilja
- Tjerita dari Djakarta
- Mereka jang Dilumpuhkan
- Sekali Peristiwa di Banten Selatan
- Di Tepi Kali Bekasi
- Tjerita Tjalon Arang
- Bukan Pasar Malam
- Panggil Aku Kartini Sadja Jilid I
- Tjerita dari Blora
- Panggil Aku Kartini Sadja Jilid I
- Midah Si Manis Bergigi Emas
- Hoa Kiau di Indonesia
- Jubaar Ajub
- Siti Djamilah
- Rijono Praktiko
- Api
- Si Rangka
- Rukiah
- Kisah Perjalanan Si Apin
- Djaka Tingkir
- Teuku Hasan Djohan Pahlawan
- Utuy T. Sontani
- Bunga Rumah Makan
- Tambera
- Orang-Orang Sial
- Awal dan Mira
- Manusia Kota
- Selamat Djalan Anak Kufur!
Breidel Buku LekraÂÂ
Pembatasan Lembaga Kebudayaan Rakyat melalui Instruksi Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan No. 1381 Tahun 1965 dengan tegas melarang buku-buku oleh perkumpulan massa/perkumpulan politik yang terkait dengan keterlibatan dan mendukung Gerakan 30 September, salah satu perkumpulan massa yang merasa hasil dari Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan adalah Lekra. Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan untuk membuat daftar buku-buku yang ditolak dan mengeluarkan buku-buku ini dari semua perpustakaan di dalam otoritas publik dan perusahaan-perusahaan lokal. Secara mutlak ada 60 judul buku dengan golongan yang berbeda yang dianulir oleh nasib yang sama dengan karyanya, para penulis/penulis yang terlibat atau menjunjung dan menjadi individu dari perkumpulan massa/orpol yang terkait dengan keterlibatan atau mendukung G30SPKI juga bergantung pada persetujuan yang sah. Karena Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan Esensial, buku-buku karya Lekra dibatasi dengan membakarnya secara total. Wartawan Lekra juga ditahan dengan menjadi tahanan politik atas tuduhan mendukung G30SPKI. Kehidupan sastra juga berubah secara radikal setelah menjadi mantan tahanan polisi, khususnya penulis esai tidak bisa keluar secara terbuka, kehidupan keuangan merepotkan karena banyak surat kabar harian yang digunakan sebagai hotspot pembayaran untuk penulis Lekra ditutup oleh otoritas publik. Selanjutnya, tidak ada lembaga atau organisasi yang perlu mendaftarkan penulis esai di sekitar itu karena ketakutan paranoid akan ditandai sebagai penyumbang aset untuk PKI. (RedG)