Surabaya___Isu politik dinasti mencuat setelah anak Presiden Jokowi, Rakabuming Raka, menjadi Calon wakil Presiden mendampingi Prabowo Subianto. Majunya Gibran dimungkinkan oleh Undang-undang Pemilihan Presiden setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memberikan jalan melalui putusan MK no 90.
Didapuknya Gibran Rakabuming Raka menjadi calon wakil presiden sontak membuat masyarakat geram dan tak sedikit yang melayangkan protes keras, tidak terkecuali para mahasiswa. Aksi protes mahasiswa tidak hanya terjadi di Jakarta namun meluas ke berbagai daerah dan kota-kota besar di Indonesia.
Kali ini protes keras terhadap upaya politik dinasti yang sedang dibangun presiden Jokowi dilayangkan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dari kampus-kampus ternama di kota Surabaya.
Menurut BEM Universitas Negeri Surabaya (Unesia), Presiden Jokowi diduga keras menggunakan pengaruhnya untuk mempengaruhi putusan MK. Apalagi terbukti putusan Majelis Kohormatan MK memvonis ada pelanggaran etika yang serius hingga dipecatnya jabatan Ketua MK Anwar Usman.
“Menurut saya hari ini presiden Jokowi sudah menggunakan kekuasaannya dengan menjadikan anaknya sebagai cawapres. Mestinya kekuasaan itu dipakai untuk memberikan kebermanfaatan untuk rakyat bukan untuk kepentingan keluarganya,” ujar Hafizh Mohammad Ismi Prakoso, Wakil Ketua BEM Universitas Negeri Surabaya (UNESA), Senin (20/11).
Hal senada juga disampaikan oleh Ketua BEM Universitas Islam Negeri (UIN) Surabaya Abdul Adim yang mengatakan, menolak keras adanya permainan atau intrik yang dilakukan oknum yang memiliki kekuasaan dengan cara mengakali konstitusi.
“Ini bukan hanya persoalan politik dinasti semata, namun putusan MK 90 yang pada prosesnya oleh MKMK diputuskan ada pelanggaran etik sudah menciderai demokrasi,” tutur Adim, sapaan akrabnya.
Adim juga menyayangkan, karpet merah yang diberikan kepada Gibran Rakabuming Raka untuk berkontestasi di pemilu 2024 dilakukan dengan cara yang tidak etis.
“Dengan memanfaatkan privelege nya, sangat disayangkan jika majunya Gibran terbukti cacat etika,” paparnya.
Sementara itu, pengamat politik Ray Rangkuti mengatakan, kategori dinasti politik pernah diatur dalam undang-undang nomor 8 tahun 2015 yang akhirnya dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK)
“Dinasti politik ini dulu pernah diatur dalam undang-undang nomor 8 tahun 2015, disitu disebutkan bahwa dinasti politik itu haram hukumnya,” ungkap Ray Rangkuti, dalam sebuah tayangan diskusi yang viral di TikTok.
Lebih lanjut Ray Rangkuti menjelaskan, yang disebut dinasti politik dalam undang-undang nomor 8 tahun 2015 adalah memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan 1 (satu) tingkat lurus ke atas, ke bawah, dan ke samping dengan petahana, yaitu ayah, ibu, anak, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar.
Tidak hanya itu, lanjut Ray Rangkuti, syarat lain dikatakan dinasti politik adalah apabila salah satu dari cabang keluarga tersebut sedang menjabat di jabatan yang bersifat elected official baik Gubernur, Bupati, atau Walikota.
“Oleh karena itu, apa yang dipraktekkan oleh pak Jokowi sekarang ini per definisi ini adalah contoh paling sempurna dari apa yang disebut dinasti politik itu,” tegasnya.
Ia menambahkan, meskipun undang-undang nomor 8 tahun 2015 tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), namun secara ide dan moral kategori dinasti politik pernah diatur karena dinasti politik tidak ada untungnya bagi bangsa ini.
“Jika ada yang mengatakan dinasti politik untuk kepentingan bangsa dan negara itu omong kosong, tidak ada buktinya secara faktual. Yang jelas dinasti politik itu hanya akan membawa kepentingan keluarganya,” pungkasnya.(Red/Romi)