Balai Pustaka dalam Periode Kesusastraan Indonesia

Penulis :  Salma Fairuz Hasanah (Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

Jakarta – Balai Pustaka awalnya adalah Komisi untuk Bacaan Sekolah Pribumi dan Bacaan Rakyat yang didirikan pada tahun 1908 untuk memerangi “pembacaan ilegal” yang berlaku di awal abad ke-20. Angkatan Balai Pustaka dianggap sangat produktif dalam menerbitkan karya mereka. Angkatan ini juga dinamakan Angkatan Siti Nurbaya karena novel Siti Nurbaya karya Marah Rusli merupakan puncak karya sastra pada masanya.

Awalnya, Balai Pustaka hanya menerbitkan buku cerita, prosa, dan novel sebagai selingan agar masyarakat melupakan perjuangan kemerdekaan. Belanda telah menegaskan bahwa buku-buku yang diizinkan untuk diterbitkan tidak mengandung unsur perjuangan pribumi. Belanda tidak hanya menurunkan harga jual hasil karya Balai Pustaka agar lebih mudah dibeli, tetapi juga menghancurkan harga pasar buku, membuat penerbit lokal bangkrut, dan menyediakan alat-alat yang bisa membuat pasar hilang.

Sastra Angkatan Balai Pustaka biasanya mengangkat cita-cita masyarakat dan sikap hidup serta adat-istiadat (Sawardi, 1999; 31). Hal ini tercermin dari persepsi umum tentang pentingnya persatuan dalam mewujudkan persatuan bangsa, khususnya di kalangan sastrawan, yang dibuktikan dengan karya sastra yang menggunakan bahasa persatuan Indonesia.

Berdasarkan hal tersebut maka sifat-sifat khas Angkatan Balai Pustaka yaitu sebagian besar karya Sastra Angkatan Balai Pustaka mengambil tema masalah kawin paksa; Latar belakang sosialnya adalah pertentangan paham antara kaum muda dan kaum tua; Tokoh dan penokohan karya para pujangga Angkatan Balai Pustaka masih mencerminkan kehidupan yang berasal dari daerah; Sastra Balai Pustaka bersifat didaktis, lebih cenderung bermain pada permasalahan kehidupan sehari-hari saja; Karya sastra Balai Pustaka kebanyakan berbentuk novel, sedangkan puisinya masih berupa pantun dan syair. Bahasa sastra Balai Pustaka adalah bahasa Indonesia pada masa permulaan perkembangan yang pada masa itu disebut bahasa melayu umum.

Tokoh Sastrawan Angkatan Balai Pustaka:

Menurut Aji Rosyidi, tokoh-tokoh yang termasuk dalam Angkatan Balai Pustaka, diantaranya adalah, Nur Sutan Iskandar (1893-1975), M. Kasim (1886-1973), Hans Bague Jassin (1917-2000), Marah Rusli (1889-1968), Abdul Moeis (1886-1959), Aman Datuk Madjoindo (1896-1969).

Nur Sutan Iskandar

Nur Sutan Iskandar lahir di Sungaibatang, Sumatera Barat, pada 3 November 1893. Nama aslinya adalah Muhammad Nur. Pada tahun 1919, Nur Sutan Iskandar hijrah ke Jakarta. Di sana beliau bekerja di Balai Pustaka. Beliau berhasil menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Balai Pustaka sejak tahun 1924. Sampai kemudian di tahun 1942, beliau diangkat sebagai Kepala Pengarang Balai Pustaka, jabatan terakhir yang diembannya hingga tahun 1945.

M. Kasim

Kasim dikenal sebagai bapak cerita pendek Indonesia yang lahir di Muara Sipongi, Tapanuli Selatan, pada tahun 1886 dan meninggal tahun 1973. Kumpulan cerpennya, Teman Duduk (1936) diakui sebagai kumpulan cerpen pertama yang terbit di Indonesia. Muhammad Kasim dapat digolongkan sebagai sastrawan Indonesia periode awal. Dia berperan dalam masa pertumbuhan bahasa Melayu Rendah ke bahasa Melayu Tinggi yang digunakan di lingkungan sekolah milik pemerintah.

Marah Rusli

Marah Rusli dilahirkan pada tanggal 7 Agustus 1889 di kota Padang dalam lingkungan keluarga beragama Islam. Dia meninggal dunia pada tanggal 17 Januari 1968 di Bandung dan dimakamkan di Ciomas, Bogor, Jawa Barat. Dalam dunia karang mengarang, ia pernah memakai nama samaran Sadi B. A.Teeuw dalam bukunya Sastra Baru Indonesia 1 (1980:86) menyatakan, bahwa Marah Rusli ternyata sangat banyak menanggung penderitaan dalam kehidupannya karena konflik-konfliknya dengan keluarganya mengenai adat lama. H.B.

Jassin dalam bukunya Sastra Indonesia sebagai Warga Sastra Dunia (1983:7) menyatakan bahwa meskipun Marah Rusli secara fisik tidak pernah pergi ke luar negeri, dalam pandangan dan sikap hidupnya banyak terpengaruh oleh bacaan Barat yang memberinya pandangan baru dan sikap-sikap baru sebagaimana tampak dalam karya-karyannya. Hasil karya Marah Rusli yang paling penting adalah novel Sitti Nurbaya. Novel ini diberi anak judul oleh Marah Rusli dengan frase “Kasih Tak Sampai” dan telah dicetak sampai dengan cetakan ke 20 pada tahun 1990.(RedG)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *