oleh

Aliansi Gerakan Rakyat Menggugat : Reformasi Dikorupsi Omnibus Law Karpet Merah Oligarki

Semarang – Penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Lapangan Kerja dalam konsep Omnibus Law mendapat reaksi dari Aliansi Gerakan Rakyat Menggugat (Geram) . Aliansi ini menggelar aksi demonstrasi menyikapi rencana Pemerintah yang tengah menyusun draft RUU Cipta Lapangan Kerja, rabu (29/1).

Aksi diikuti oleh serikat Buruh; KASBI, FSPIP, Serikat Buruh Kerakyatan, SP PUBG, organisasi FNKSDA Semarang dan BEM UNNES serta UNS Surakarta ini, sempat diwarnai aksi pemblokadean rute aksi oleh Aparat Keamanan yang akhirnya dapat ditembus oleh massa aksi.

Memang sampai saat ini Pemerintah belum mengeluarkan draft resmi RUU tersebut, dengan alasan menjaga etika kerahasian dan menghindari gejolak di masyarakat.

Namun penyusunan draft RUU yang rencananya akan segera dirampungkan dalam waktu 100 hari kerja ini, telah memicu gelombang penolakan yang nampaknya diabaikan oleh Pemerintah yang saat ini belum memberikan penjelasan menyeluruh perihal tuntutan yang disuarakan oleh kelompok masyarakat sipil. Akibat dari ketiadaan draft resmi tersebut, masyarakat akhirnya menggunakan rujukan dari pernyataan pejabat publik dan bahan presentasi yang diduga dikeluarkan oleh Kementerian yang secara substansi dinilai hanya mengedepankan kepentingan investasi.

Ketiadaan transparansi dan pelibatan masyarakat sipil dalam penyusunan draft RUU yang dibuat dengan semangat untuk mendongkrak investasi ini, menyebabkan publik semakin bertanya-tanya dan curiga ihwal keberpihakan pemerintah yang cukup mesra dengan KADIN yang bahkan dipercaya sebagai satgas dalam penyusunan RUU ini. Kondisi demikian semakin menguatkan dugaan bahwa, “Omnibus Law : RUU Cipta Lapangan Kerja” yang tengah disusun akan menjelma menjadi malapetaka yang akan memperburuk kehidupan buruh dan melanggengkan praktik perampasan ruang hidup serta kerusakan ekologis yang dampaknya akan kembali dipikul oleh masyarakat.

Dalam penyusunan RUU Cipta Lapangan Kerja ini, setidaknya terdapat beberapa hal yang dinilai mengedepankan kepentingan investasi dan merugikan kaum buruh; Pertama, terkait adanya peluang penerapan upah per jam pada jenis pekerjaan tertentu, Pertanyaanya adalah bagaimana pemerintah akan menjamin ihwal penerapan upah per jam pada jenis pekerjaan tertentu tidak akan menjadi pemicu merebaknya praktik upah per jam pada jenis pekerjaan lain? Seperti halnya pada ketentuan kontrak dan outsorching dalam UU Ketenagakerjaan saat ini, yang awalnya dimaksudkan untuk jenis pekerjaan tertentu, namun praktiknya justru diterapkan pada jenis pekerjaan inti. ketika ketentuan ini diberlakukan, maka cuti haid, melahirkan, dan pasca melahirkan bagi buruh perempuan maupun cuti lainnya yang diambil oleh buruh secara umum berpotensi untuk tidak memperoleh upah karena dianggap tidak bekerja.

Baca Juga  Usai Anggota DPRD jadi Tersangka, Giliran Notaris di Blora jadi Tersangka

Kedua, terkait penerapan sistem kerja kontrak dan outsorching yang saat ini sebenarnya telah diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Penerapan konsep ini, dinilai akan semakin melanggengkan praktik kerja kontrak dan outsorching yang marak terjadi dan selama ini ditolak oleh kalangan buruh karena dinilai menghilangkan kepastian kerja. Ketiga, terkait Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), Pemerintah mewacanakan adanya tunjangan PHK bagi buruh yang mengalami PHK. Sekilas hal ini seperti melindungi hak buruh yang mengalami PHK, Namun yang patut dipertanyakan adalah perihal jumlah dan prosedur pemberian tunjangan PHK tersebut, mengingat selama ini buruh dengan status pekerja tetap pun, masih harus berjuang susah payah mendapatkan hak-haknya. Keempat, terkait wacana penghapusan sanksi pidana yang akan semakin menghilangkan perlindungan bagi buruh dari tindakan pengusaha yang selama ini diancam dengan sanksi pidana.

Aroma kepentingan investasi dalam RUU ini, setidaknya tercium pula pada sektor lingkungan dan pertanahan. Pemerintah dalam hal ini mewacanakan memangkas aturan yang menghambat iklim investasi. Adapun beberapa aturan yang diduga akan dihapuskan untuk memuluskan kepentingan investasi tersebut yakni; Pertama, terkait mekanisme penilaian AMDAL atau Uji Kelayakan oleh Komisi yang dibentuk Pemerintah dalam UU PPLH yang diubah menjadi penilaian oleh pihak ketiga yang ditunjuk oleh pelaku usaha.

Ke dua, izin lingkungan dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup juga akan dihilangkan. Ke tiga, penghapusan ketentuan izin lokasi, di mana pembukaan lokasi untuk usaha tidak memerlukan izin lokasi dan hanya mengacu kepada RDTR (Rencana Detail Tata Ruang). Ketentuan ini, akan memuluskan praktik perampasan ruang hidup masyarakat, mengingat RDTR hanya menggunakan data spasial yang berbeda dengan data sosial pada izin lokasi. Di samping itu, penghapusan izin lokasi juga akan menutup celah bagi masyarakat untuk mengajukan upaya hukum terhadap pembukaan lokasi.

Baca Juga  Ditpolairud dan Brimob Polda Jateng Evakuasi Korban Banjir Semarang.

Ke empat, penghapusan sanksi pidana bagi pelaku kejahatan lingkungan hidup yang selama ini menimbulkan pencemaran dan telah merugikan masyarakat. Penghapusan ketentuan ini, justru akan melanggengkan pengrusakan lingkungan hidup oleh pelaku usaha. Ke lima, Ketentuan untuk meniadakan IMB bagi gedung berlantai 8 (delapan) ke bawah. Padahal keberadaan IMB penting sebagai instrumen kontrol terhadap mutu bangunan guna menghindari pembangunan yang membahayakan keselamatan masyarakat.

Ke enam, Pemberian konsesi abadi berupa pemberian izin penambangan selama 30 tahun, dan dapat diperpanjang setiap 10 tahun sampai dengan seumur tambang. Ketentuan lain yaitu pemberian perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Guna Bangunan (HGU) yang dapat diberikan di muka sehingga langsung dapat diberikan selama 70 tahun dan HGB 50 tahun. Ke tujuh, Wacana untuk mengalihkan banyak usaha/kegiatan wajib AMDAL menjadi hanya wajib UKL/UPL. Hal ini selain akan memperparah pengrusakan terhadap lingkungan juga akan menutup partisipasi publik karena dalam pengaturan UKL-UPL saat ini tidak ada proses pelibatan masyarakat.

kondisi diatas menunjukan bahwa, sejatinya ruh dari Omnibus Law : RUU Cipta Lapangan Kerja yang tengah disusun pemerintah, nampaknya memang dirancang untuk kepentingan investasi semata, bukan untuk melindungi kepentingan masyarakat. Melainkan untuk membentangkan karpet merah bagi kepentingan investasi yang hanya akan menguntungkan investor, tetapi mengkebiri semangat reformasi dan hak-hak masyarakat. Berangkat dari hal yang telah diuraikan sebelumnya, maka Aliansi GERAM dengan tegas menolak RUU ini dan menuntut agar : 1 . Pemerintah membatalkan penyusunan mengenai RUU Cipta lapangan kerja dan RUU lain dalam kerangka Omnibus Law. 2. Pemerintah membuka partisipasi aktif masyarakat sipil dalam setiap penyusunan dan perubahan kebijakan. 3. Pemerintah fokus terhadap pemenuhan hak-hak masyarakat miskin, marginal dan kelompok rentan. (RedG/okta)

 

Komentar

Tinggalkan Komentar