oleh

Ahli Listrik dan Konstruksi Sebut SUTT 100 Persen Aman

Batam – Penolakan warga Bandara Mas dan warga Odessa terkait pembangunan SUTT, sampai juga ke pengadilan negeri Batam. Aksi penolakan pembangunan proyek SUTT bertegangan 150 KV sudah terjadi sejak beberapa tahun lalu.

“Tadi saya bersaksi di Pengadilan Negeri Batam sesuai dengan keahlian saya,” kata Prof. Dr. Ir  Bambang Anggoro, MT.IPU, Profesor in High Voltage Engineering Institut Teknologi Bandung (ITB), Kamis (12/2/2021).

Bambang mengatakan, pengalaman selama 30 tahun lebih ini, hal biasa warga menolak terhadap pembangunan jaringan listrik tersebut. Menurutnya, tidak semua masyarakat yang paham tentang kelistrikan dan juga tidak semua mendapatkan informasi terkait itu.

“Saya kira masyarakat belum mendapatkan informasi seutuhnya, sehingga muncul persepsi yang aneh-aneh. Keadaan ini bukan hanya di Batam saja, tapi juga terjadi di daerah lainnya, seperti di daerah Jawa,” kata Bambang usai memberikan kesaksian di Pengadilan Negeri Batam.

Bambang mengungkapkan, untuk di Indonesia ada dua jenis tegangan tinggi, pertama Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) dan kedua Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) yang bertegangan sekitar 500 KV. Khusus untuk SUTET sendiri, tambah Bambang, biasanya dipakai di daerah Pulau Jawa, karena pembangkit listrik yang berkapasitas besar kebanyakan berada di Jawa Timur dan pemakai yang terbanyak berada di Jawa Barat.

“Kenapa daerah Jawa pakai SUTET, karena pembangkit listrik bertegangan besar di Jawa Timur dan pemakai yang banyak ada di Jawa Barat, makanya di daerah sana membutuhkan saluran lebih besar,” ujarnya.

Menurut Dosen ITB ini, khusus di Batam sendiri, tidak diperlukan SUTET, makanya Bright PLN Batam hanya membangun SUTT. Hal ini disebabkan tegangan tidak terlalu besar dan jaraknya juga tidak jauh.

“Batam tidak perlu SUTET, cukup SUTT saja, seperti yang dibangun saat ini,” ucapnya.

Pada prinsipnya lanjut Bambang, kedua jenis pengantar listrik tersebut sama. Sama-sama merujuk pada aturan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Di mana dalam pembangunannya, tak boleh berdampak negatif pada lingkungan. Sehingga diaturlah syarat-syarat keamanannya.

Baca Juga  Lautan Merah Putih di Gowes Kebangsaan Pemalang

Seperti dampak medan listrik dan medan magnet yang ditimbulkan. Dalam aturan WHO tegangan listrik di bawah titik pengukuran tidak boleh lebih dari 5 Kv/m.

“Ada suatu motode untuk mengukurnya, medan listrik dan magnet itu memang ada, cuma kecil. Dalam standar itu apabila ada orang di bawahnya selama-lamanya tak apa-apa. Tapi kalau di atas itu ada batasnya. Makanya kalau orang-orang yang bekerja di atas tegangan itu ada waktunya untuk keluar dari area,” ungkapnya.

“Indonesia masih ikut aturan WHO, kalau di Rusia lebih longgar lagi, malah batas minimum 10 Kv/m,” dia menegaskan.

Nah, terkait SUTET dan SUTT di Indonesia, sepengetahuan Bambang, tak ada yang melebihi standar tersebut. Karena ahli kontruksi di PLN pasti merujuk pada aturan-aturan itu.

“Tegangan itu diukur di bawah saluran dan di tempat kosong. Karena semakin jauh dari titik pengukuran tegangan atau medan magnet dan listrik itu makin kecil belum lagi kalau ada tanaman atau bangunan maka makin turun. Bisa-bisa sampai di pemukiman sudah nol,” ungkapnya lagi.

Sehingga, kata Bambang, rancang bangun SUTET dan SUTT dibuat tinggi. Tujuannya untuk mengurangi medan magnet dan listrik tersebut.

Selain itu Bambang juga menjawab kekhawatiran masyarakat bila terjadi petir. “Justru sebenarnya masyarakat yang ada di area itu makin aman. Karena SUTET atau pun SUTT kawat paling atas kan ground, untuk melindungi sambaran petir. Malah area sekitar tambah aman,” ungkapnya lagi.

“Saya sering diminta menjelaskan ini, jadi SUTET dan SUTT itu aman 100 persen,” Bambang menegaskan.

Sementara, itu Dr.Ir. Sangriyadi Setio, ahli kontruksi dan juga dosen di ITB, juga menjelaskan SUTET dan SUTT menurut keahliannya.

“Sebetulnya kontruksi SUTET dan SUTT beda. Tapi masyarakat sering menyebutnya sama, tower. Kalau SUTT sebetulnya cuma tiang. Namun, fungsi sama,” kata Sangriyadi, yang sudah 30 tahun lebih berkutat dengan dunia kontruksi. Sama dengan Prof. Bambang dia juga sering dijadikan saksi ahli dan turun ke masyarakat dalam menjelaskan kontruksi tower listrik.

Baca Juga  Tidak Puas, Adukan Saja Lewat Mas Bup Siaga

Dalam membangun, khususnya kontruksi tower atau tiang listrik kata Sangriyadi, merujuk pada peraturan Menteri ESDM dan juga tata ruang sebuah wilayah.

“Semua sudah diatur di dalamnya. Mulai dari jarak, ayunan kabel, tegangan, dan segala macam. Dan selama ini tak ada jadi masalah,” ungkapnya.

Untuk jarak pertiang kata pria murah senyum itu minimum 150 meter dan maksimum 200 meter. Biasanya juga disesuaikan dengan medan di lapangan.

“Kalau untuk kabel putus belum ada. Karena kabel itu cukup kuat. Adanya kekhawatiran karena ketidaktahuan masyarakat,” ujarnya.

Sebelumnya, Bukti Panggabean, Vice President Public Relations bright PLN Batam, mengakui proyek SUTT 150 KV tersebut sangat vital. Pasalnya, menyangkut suplai tenaga listrik untuk wilayah Nongsa, yang di daerah tersebut tak hanya ada pemukiman penduduk tapi juga ada juga kantor pemerintahan, kawasan industri dan pariwisata dan tentunya memerlukan pasokan listrik yang handal.

“Saat ini Gardu Batu Besar sudah tak sanggup lagi menyuplai listrik ke wilayah Nongsa,” ungkapnya.

Bukti juga mengakui saat ini ada penolakan dari sejumlah okmun masyarakat dengan alasan proyek SUTT tersebut membahayakan. Bahkan saat gugatannya sedang berproses di Pengadilan Negeri Batam.

“Namun bright PLN Batam sudah mengikuti semua prosedur, izin, dan standar keamanan SNI, semuanya sudah terpenuhi yang intinya pembangunan SUTT tersebut tidak membahayakan,” tegasnya.

Terkait permasalahan di lapangan pihaknya sudah menempuh berbagai cara. Termasuk langkah-langkah hukum.

“Kami sudah temui masyarakat untuk sosialisasi dan menjelaskan. Sangat persuasif lah. Saat ini juga ada kuasa hukum yang menanganinya, ” ujarnya.(RedG/Bayu)

Komentar

Tinggalkan Komentar